Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya mendorong pengembang listrik swasta alias Independent Power Producer (IPP) untuk ikut serta melakukan co-firing biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana menyampaikan bahwa pihaknya sedang menyusun Peraturan Menteri (Permen) ESDM untuk mengatur co-firing. Regulasi tersebut diharapkan bisa merangsang keterlibatan PLTU milik IPP dalam program pencampuran biomassa kepada pembangkit listrik berbahan bakar batubara tersebut.
"Kementerian ESDM sedang mematangkan regulasinya untuk co-firing. Termasuk pada pembangkit non-PLN," kata Dadan saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (24/2).
Dadan bilang, Permen ESDM tersebut bakal mengatur aspek keteknikan khususnya spesifikasi bahan bakar biomassa. Selain itu, diatur juga tentang koridor atau formulasi harga biomassa dan pengawasannya.
Adapun, insentif yang diberikan pemerintah untuk mendorong program co-firing PLTU batubara antara lain berupa pembangunan fasilitas untuk produksi bahan bakar biomassa dari sampah kota.
Baca Juga: PJB tingkatkan cofiring di PLTU Paiton menjadi 5.000 ton biomassa per bulan
Regulasi yang akan dibuat Kementerian ESDM juga diharapkan bakal membuat keekonomian co-firing dan pengadaan biomassa menjadi lebih menarik. "Untuk biomassa arahnya (produksi) sampai (ke bentuk) woodchips, tidak ke pellet. Sehingga keekonomian-nya akan semakin baik," ungkap Dadan.
Namun, dia enggan membeberkan, kapan regulasi ini bakal diterbitkan. Yang pasti, saat ini Permen tersebut masih dibahas, dan akan melibatkan stakeholders terkait. "Jangan sampai nanti Permen-nya terbit, tapi tidak berjalan di lapangan," sambung Dadan.
Saat ini, co-firing sudah dilakukan uji coba pada 32 PLTU. Enam diantaranya sudah melakukan co-firing secara komersial dengan biomassa yang bersumber dari limbah kayu, sawit, dan sampah kota.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan bahwa penerapan co-firing memang bisa meningkatkan output pencapaian EBT berbasis biomassa. Namun dia memberikan catatan, penerapan co-firing harus dilihat dari kecocokan masing-masing PLTU seperti dari desain teknologi dan setting boiler.
"Harus dilihat, apakah dapat langsung mengadaptasi tanpa dampak negatif? Perlu perencanaan dan proses yang transparan sehingga bersifat win win," ungkap Arthur kepada Kontan.co.id, Rabu (24/2).
Pasalnya, pengembang swasta pun menyambut baik teknologi ramah lingkungan yang bersifat terbarukan. Arthur mengklaim hal itu sudah menjadi fokus utama anggota APLSI.
Tapi, dia meminta agar program co-firing yang didorong oleh pemerintah tidak mengganggu komitmen investasi yang telah disepakati. "Apabila (co-firing) dijalankan, tidak ada pihak yang dirugikan sehingga komitmen iklim investasi jangka panjang tidak terganggu," ungkapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai co-firing memang bisa menjadi strategi dalam menaikan bauran energi terbarukan. Dengan kepemilikan PLTU batubara yang ke depannya banyak berasal dari IPP, keterlibatan dari para pengembang swasta itu memang diperlukan.
Namun, ada sejumlah hal yang bakal menjadi pertimbangan IPP untuk turut serta dalam program co-firing. Pertama, terkait investasi tambahan yang harus dikeluarkan oleh IPP. Kedua, dampak pada biaya pembangkitan. Ketiga, kemudahan dan keberlanjutan untuk mendapatkan biomassa agar sesuai keekonomian.
Fabby memberikan gambaran, rencana PLN untuk melakukan co-firing pada PLTU dengan kapasitas total 18 Gigawatt (GW) membutuhkan pasokan biomassa sebesar 9 juta-12 juta ton per tahun. Jika digandakan dengan PLTU IPP, kebutuhan biomassa bisa mencapai 18 juta-24 juta ton per tahun.
Baca Juga: DPR: Co-firing biomassa PLTU PLN bisa masuk dalam peraturan pemerintah
"Demand menjadi sangat tinggi, dan jika pasokan tidak stabil, maka akan mempengaruhi harga feedstock dan biaya pembangkitan," ungkap Fabby.
Dari sisi instrumen regulasi, penggunaan co-firing bisa juga diakomodasi dalam Peraturan Presiden atau RUU EBT terkait penggunaan energi terbarukan pada sisi pembangkitan. Meski begitu, dengan tingkat co-firing sekitar 3% dari pembangkit, kontribusi terhadap bauran energi terbarukan belum signifikan.
"PLN tetap harus meningkatkan listrik dari pembangkit energi terbarukan, dengan cara membeli dari IPP atau memproduksi sendiri," pungkas Fabby.
Selanjutnya: Bangun sejumlah infrastruktur listrik, PLN siapkan belanja modal Rp 78,9 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News