Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai co-firing memang bisa menjadi strategi dalam menaikan bauran energi terbarukan. Dengan kepemilikan PLTU batubara yang ke depannya banyak berasal dari IPP, keterlibatan dari para pengembang swasta itu memang diperlukan.
Namun, ada sejumlah hal yang bakal menjadi pertimbangan IPP untuk turut serta dalam program co-firing. Pertama, terkait investasi tambahan yang harus dikeluarkan oleh IPP. Kedua, dampak pada biaya pembangkitan. Ketiga, kemudahan dan keberlanjutan untuk mendapatkan biomassa agar sesuai keekonomian.
Fabby memberikan gambaran, rencana PLN untuk melakukan co-firing pada PLTU dengan kapasitas total 18 Gigawatt (GW) membutuhkan pasokan biomassa sebesar 9 juta-12 juta ton per tahun. Jika digandakan dengan PLTU IPP, kebutuhan biomassa bisa mencapai 18 juta-24 juta ton per tahun.
Baca Juga: DPR: Co-firing biomassa PLTU PLN bisa masuk dalam peraturan pemerintah
"Demand menjadi sangat tinggi, dan jika pasokan tidak stabil, maka akan mempengaruhi harga feedstock dan biaya pembangkitan," ungkap Fabby.
Dari sisi instrumen regulasi, penggunaan co-firing bisa juga diakomodasi dalam Peraturan Presiden atau RUU EBT terkait penggunaan energi terbarukan pada sisi pembangkitan. Meski begitu, dengan tingkat co-firing sekitar 3% dari pembangkit, kontribusi terhadap bauran energi terbarukan belum signifikan.
"PLN tetap harus meningkatkan listrik dari pembangkit energi terbarukan, dengan cara membeli dari IPP atau memproduksi sendiri," pungkas Fabby.
Selanjutnya: Bangun sejumlah infrastruktur listrik, PLN siapkan belanja modal Rp 78,9 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News