kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.325.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tata niaga nikel: Ada 11% perusahaan belum memenuhi ketentuan harga patokan


Kamis, 17 Desember 2020 / 06:30 WIB
Tata niaga nikel: Ada 11% perusahaan belum memenuhi ketentuan harga patokan

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey membenarkan bahwa transaksi pembelian bijih nikel domestik oleh smelter sudah mulai mengacu pada HPM.

Kendati begitu, pelaksanaan tata niaga nikel bukan tanpa kendala. Pertama, dalam seluruh kontrak transaksi hanya berlaku skema cost, insurance and freight (CIF) atau kontrak di pelabuhan smelter. Jika dengan kontrak free on board (FoB) penambang hanya diberikan sekitar US$ 3/mt untuk menanggung biaya tongkang.

"Artinya dalam kondisi ini banyak penambang yang jauh lokasinya seperti dari wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua, amupun sebagian kabupaten di wilayah Sulawesi Tenggara itu harus mensubsidi biaay tongkang sekitar US$ 5 -US$ 8/mt," terang Meidy.

Kedua, dispute dari aspek surveyor. Meidy menyampaikan, sejak Oktober 2020, surveyor yang intertek atau belum terdaftar di Kementerian ESDM dan Kemendag digantikan oleh surveyor Anindya yang dipilih oleh perusahaan smelter.

Baca Juga: Harga nikel terbang tinggi, ini faktor pendorongnya

Masalahnya, saat ini surveyor Anindya belum bisa memenuhi kebutuhan pengujian analisa. Selain itu, sering terjadi perbedaan hasil analisa kabar bijih nikel antara pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar yang merugikan supplier atau penambang.

"Kondisi yang terjadi sering dispute perbedaan kadar antara pelabuhan muat maupun pelabuhan bongkar. Terjadi beberapa keluhan terhadap kinerja, juga waktu pengujian. Ada yang sudah satu bulan lebih belum keluar hasilnya," ungkap Meidy.

Saat terjadi dispute, penambang dan supplier pun melakukan gugatan hukum. Sebab, ketentuan penunjukan pihak ketiga sebagai wasit (surveyor umpire) yang seperti yang tertuang dalam Permen ESDM No. 11/2020 belum digunakan pada saat terjadi selisih perbedaan kadar. "Saksi dari pihak supplier atau penambang tidak dilibatkan dalam proses pengambilan sample," jelas Meidy.

Catatan lainnya, dia menjelaskan, kontrak saat ini merupakan kontrak standar dan tidak ada negosiasi secara business to business (b to b). Selain itu, kontrak saat ini terjadi untuk kadar nikel di atas 1,9%.

Harga dalam kontrak yang sesuai HPM namun ada sejumlah ketentuan penalty. "Apabila lebih rendah dari 1,7% kami akan dikenakan penalty sebesar US$ 14 per wmt," kata Meidy.

Jika kandungan nikel di bawah batas minimum, maka dianggap reject dan kargo tidak dapat dikembalikan. Kontrak pun tidak langsung ke pabrik, namun melalui trader.

Saat ini, terdapat 25 perusahaan smelter dan 15 traders yang membeli bijih nikel dari penambang. Dari sisi penambang, terdapat 293 IUP nikel yang aktif.

Selanjutnya: Jelang tutup tahun, begini realisasi produksi dan penjualan komoditas tambang mineral

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

×