Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Paguyuban Pengumpul Minyak Jelantah (PPMJ) memprotes kebijakan pemerintah yang melarang ekspor minyak jelantah (used cooking oil) atau minyak bekas pemakaian. Hal ini tertera dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Ketua Umum Pengurus Pusat PPMJ H. Hermansyah menilai, Permendag No 2/2022 sebenarnya hadir sebagai bentuk respons pemerintah atas kelangkaan minyak goreng di awal tahun ini. Lewat beleid tersebut, pemerintah berupaya melarang ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil) jika kebutuhan di dalam negeri belum terpenuhi.
Namun, PPMJ mengkritik peraturan tersebut karena seharusnya minyak jelantah tidak perlu ikut dilarang ekspor juga. Padahal, ekspor minyak jelantah sudah rutin dilakukan selama sekitar 15 tahun terakhir. Produk minyak jelantah Indonesia juga dihargai dengan baik di luar negeri.
Baca Juga: Pemerintah Subsidi Harga Minyak Goreng Rp 14.000 Per Liter, Ini Sumber Pendanaannya
Larangan ekspor tersebut tentu merugikan pihak eksportir maupun pengumpul minyak jelantah. Khusus pihak pengumpul, dampaknya akan lebih terasa karena mayoritas pelaku usaha pengumpul minyak jelantah merupakan industri kecil menengah (IKM) yang melibatkan masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Kalau ekspor dilarang, eksportir tidak akan beli minyak jelantah dari pengumpul. Akibatnya, minyak jelantah akan menumpuk. Ini berbahaya karena bisa berakhir jadi limbah atau bahkan tindakan pengoplosan,” ungkap dia ketika dihubungi Kontan, Selasa (15/3).
Hermansyah menyebut, sejauh ini para pengumpul biasa mengumpulkan minyak jelantah dari restoran, penjual gorengan, dan industri pengkonsumsi minyak goreng lainnya. Ada ribuan pengumpul minyak jelantah yang tersebar di Indonesia.
Biasanya, Indonesia bisa mengekspor sekitar 20.000 ton minyak jelantah ke luar negeri seperti Eropa dan Asia. Di luar negeri, minyak jelantah kerap digunakan untuk kebutuhan industri biodiesel. Namun, minyak jelantah belum dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri, sehingga dikhawatirkan malah disalahgunakan.
“Sejauh ini belum ada solusi dari pemerintah. Kami yang berada di bawah mencoba bersuara karena sudah tidak tahan dengan kondisi ini,” tandas Hermansyah.