Reporter: Adi Wikanto, Khomarul Hidayat | Editor: Adi Wikanto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materiil pajak atas pesangon pensiun yang diajukan sejumlah karyawan bank swasta. Apa itu pajak pesangon? Berapa besaran atau tarif pajak pesangon pensiun?
Putusan MK dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 186/PUU-XXII/2024 pada Kamis (13/11/2025). Dalam amar putusannya, MK menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima.
Majelis berpendapat bahwa permohonan tersebut tidak jelas atau kabur (obscuur libel), sehingga Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum maupun pokok permohonan lebih lanjut.
Baca Juga: Berita Duka: Dirut Bank BJB Yusuf Saadudin Tutup Usia di Bandung, Ini Profilnya
Mengapa permohonan tidak diterima?
Ketua MK, Suhartoyo, menjelaskan bahwa setelah mencermati Pasal 4 ayat (1) huruf a dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021, tidak ditemukan frasa “tunjangan dan uang pensiun” sebagaimana didalilkan para pemohon. Yang tercantum dalam undang-undang adalah kata “tunjangan” dan frasa “uang pensiun” secara terpisah.
Selain itu, Mahkamah menilai redaksi permohonan tidak konsisten. Pada petitum angka 1, pemohon mencampurkan uraian alasan yang seharusnya berada dalam posita, sehingga menimbulkan ketidakjelasan. Pada petitum angka 2, mereka meminta Pasal 17 ayat (1) huruf a dinyatakan konstitusional bersyarat, namun argumentasi dalam posita justru mempermasalahkan keseluruhan Pasal 17.
Atas dasar itu, MK memutuskan: *“Menyatakan permohonan para Pemohon Nomor 186/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima.”*
Tonton: Sidak Bea Cukai Tanjung Perak, Purbaya Temukan Harga Pompa Air Rp 117.000, Dijual Online Rp 50 Juta
Duduk Perkara
Permohonan ini diajukan oleh sembilan pemohon yang merupakan karyawan dan mantan karyawan bank swasta, tergabung dalam Forum Pekerja Bank Swasta. Mereka mendalilkan bahwa pengenaan pajak atas pesangon, pensiun, tabungan hari tua (THT), serta jaminan hari tua (JHT) tidak adil dan bertentangan dengan prinsip kesejahteraan rakyat.
Para pemohon menilai penerapan pajak atas pesangon dan pensiun memberatkan karena:
- dianggap sebagai *tambahan penghasilan baru*, padahal merupakan akumulasi jerih payah saat bekerja;
- membebani kelompok rentan seperti pensiunan;
- menimbulkan potensi *double taxation*;
- dan memperberat beban administratif akibat penerapan sistem *self-assessment*.
Pemohon juga beranggapan bahwa pengaturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 28H ayat (1) serta prinsip keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945.
Baca Juga: Daftar Magang Kemnaker Batch 2 Ditutup Hari Ini! Dapatkan Uang Saku Setara UMP/UMK
Apa Itu Pajak Pesangon?
Dilansir dari website resmi Ditjen Pajak, pajak pesangon adalah pajak atas penghasilan yang diterima oleh pekerja ketika hubungan kerja berakhir, baik karena pemutusan hubungan kerja (PHK), pensiun, atau alasan lain. Pajak ini termasuk dalam kategori Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Pesangon dan uang pensiun termasuk objek pajak karena dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh wajib pajak.
Kemudian, berdasarkan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi, pengurangan penghasilan bruto yang diperbolehkan salah satunya adalah iuran terkait program pensiun dan hari tua.
Selain itu, UU PPh jo. UU HPP menegaskan bahwa iuran kepada dana pensiun merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pemberi kerja. Oleh karena itu, iuran pensiun yang nantinya akan menjadi uang pensiun yang diterima pegawai merupakan penghasilan yang belum pernah dikenakan pajak. Dengan demikian, uang pensiun menjadi objek pajak.
Baca Juga: BP-AKR Siap Terima Base Fuel Ketiga dari Pertamina, Shell Masih Negosiasi
Berapa Tarif Pajak Pesangon dan Pensiun?
Tarif pajak pesangon menggunakan skema PPh 21 yang bersifat final, dengan ketentuan:
1. Penghasilan bruto sampai Rp50.000.000
Pajak: 0%
2. Penghasilan bruto di atas Rp50.000.000 – Rp100.000.000
Tarif: 5%
3. Penghasilan bruto di atas Rp100.000.000 – Rp500.000.000
Tarif: 15%
4. Penghasilan bruto di atas Rp500.000.000
Tarif: 25%
Untuk uang pensiun bulanan, tarif yang berlaku adalah tarif umum PPh Pasal 17 setelah memperhitungkan PTKP yang berlaku.
Selanjutnya: Malaysia’s Q3 Growth Hits 5.2%, Outlook for 2025 at High End of Forecast
Menarik Dibaca: Pilihan Tanaman herbal untuk Mengobati Keputihan, Cek Daftar Lengkapnya di Sini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













