kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menimbang untung-rugi dari tarif pajak minimum 15% untuk perusahaan multinasional


Sabtu, 31 Juli 2021 / 07:30 WIB
Menimbang untung-rugi dari tarif pajak minimum 15% untuk perusahaan multinasional

Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

OECD juga mencatat adanya ketidaksesuaian antara lokasi penghasilan dilaporkan dan lokasi aktivitas perekonomian dilaksanakan. Hal ini mengindikasikan adanya praktik penggerusan basis dan pergeseran laba yang sering kali dilakukan oleh korporasi multinasional, tak terkecuali bagi Indonesia.

OECD menegaskan proposal yang telah digadang-gadang sejak tahun 2018 lalu akan banyak memberikan keuntungan bagi semua negara di dunia untuk bisa mendapatkan hak pemajakan, sehingga menambah pundi-pundi penerimaan pajak.

Adapun data Bank Dunia mencatat tahun lalu praktik BEPS setidaknya berpotensi merugikan negara-negara secara global diperkirakan sebesar US$ 100 miliar hingga US$ 240 miliar, atau setara dengan  4% sampai dengan 10% produk domestik bruto (PDB) global.

Sejalan, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan dengan adanya Pilar 2, mayoritas negara akan diuntungkan karena risiko revenue forogone dari praktik pengalihan laba dan tekanan kompetisi pajak akan berkurang. Namun demikian, bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, skema ini juga bisa menyebabkan berkurangnya daya tarik mereka sebagai negara tujuan investasi.

Dari sisi kebijakan carve-out, Bawono mengatakan secara konsep rencananya hanya akan diterapkan bagi sebagian kecil laba perusahaan multinasional yakni sebesar 5%-7,5% dari laba dengan asumsi selebihnya, yakni 2,5% merupakan excess profit yang diperoleh dari aset tidak berwujud.

Oleh karena itu, Bawono menilai ada baiknya Indonesia perlu memperjuangkan negosiasi persentase carve out yang lebih besar. Hal ini untuk menjamin bahwa masih ada keleluasaan bagi Indonesia untuk memberikan insentif bagi perusahaan multinasional yang memang memiliki kegiatan ekonomi yang substantif.

“Jika tidak, keleluasaan kita meningkatkan daya tarik melalui sistem pajak akan kian terbatas,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Jumat (30/7).

Selanjutnya: Mendag Lutfi menanggapi soal rencana Uni Eropa terapkan Carbon Border Tax

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×