Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menyongsong tahun 2022, sudah berhembus kabar yang menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak, yaitu kenaikan harga energi pada tahun depan.
Sudah ada beberapa agenda tahun depan terkait peningkatan harga energi, seperti peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan wacana penghapusan BBM di bawah RON 92 yaitu Premium dan Pertalite.
Kedua, peningkatan harga gas Liquified Petroleum Gas (LPG) atau elpiji nonsubsidi sebesar Rp 1.600 hingga Rp 2.600 per kilogram. Meski, khusus harga LPG 3 kilogram masih tetap karena disubsidi pemerintah.
Ketiga, tairf listrik golongan pelanggan non-subsidi di tahun depan juga diwacanakan meningkat. Dengan skema tarif penyesuaian, maka kenaikan tarif listrik di tahun depan diperkirakan naik dari Rp 18.000 hingga Rp 101.000 per bulan sesuai dengan golongannya.
Baca Juga: Naiknya Harga Logistik Akan Mengubah Pola Perdagangan Dunia
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, peningkatan harga energi ini tentu akan melecut inflasi di tahun 2022 ke kisaran 5% yoy, atau lebih tinggi dari kisaran sasaran Bank Indonesia (BI) yang sebesar 3% plus minus 1%.
Belum lagi, akan ada risiko peningkatan harga kebutuhan pokok, seperti pangan yang dipengaruhi oleh pasokan pangan karena adanya La Nina dan peningkatan permintaan menjelang Ramadan 2022.
Belum lagi, ada risiko terkait dengan imported inflation, seiring dengan gonjang-ganjing nilai tukar rupiah karena normalisasi kebijakan moneter bank-bank sentral dunia.
Imbas peningkatan inflasi ini kemudian dirasakan oleh rumah tangga, terutama kelompok menengah bawah. “Ada kecenderungan rumah tangga kemudian mengurangi pengeluaran sekundernya, sebagai dampak dari kenaikan harga energi dan kenaikan harga kebutuhan pokok,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (28/12).
Baca Juga: Biaya Energi Berpotensi Naik, Begini Dampaknya Bagi Industri Logistik
Akan tetapi, Bhima tetap melihat kemungkinan positif di tahun depan terkait prospek konsumsi rumah tangga, yaitu dari pembukaan sektor perekonomian yang bisa mengungkit pendapatan masyarakat, terutama di sektor komoditas imbas naiknya permintaan ekspor.
Sehingga dengan demikian, Bhima memperkirakan pertumbuhan ekonomi di tahun depan masih akan terjaga di kisaran 4,5% yoy hingga 5,0% yoy.
Ia pun kemudian memberikan imbauan pada pemerintah. Untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga harus tetap berupaya keras dalam menjaga stabilitas harga, mengingat ini sangat dekat dengan konsumsi rumah tangga yang menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia.
Beberapa imbauannya, pertama, pemerintah bisa menjaga agar kenaikan harga energi tak terlalu tinggi pada tahun 2022 dengan memberikan instruksi kepada Pertamina untuk memangkas laba dan menahan kenaikan harga gas maupun BBM.
Kedua, pemerintah menjaga peningkatan harga pangan dengan memastikan stok pangan cukup setidaknya jelang Ramadhan. Dalam hal ini, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu kerja keras untuk memetakan risiko kebutuhan pangan di tiap daerah.
Baca Juga: Pekan Terakhir Window Dressing, Asing Banyak Borong Saham-Saham Ini, Selasa (28/12)
Ketiga, pemerintah harus menyiapkan substitusi produk impor terutama pangan dan bahan baku industri karena gejolak harga barang impor berisiko terjadi. Plus, pemerintah harus getol mengawasi praktik penimbunan bahan pangan impor dan penyelundupan di daerah rawan perbatasan.
Keempat, ia menilai pemerintah dan BI tetap harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan berbagai cara, termasuk meningkatkan suku bunga pinjaman lebih cepat sebagai antisipasi dari tapering off.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News