kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Lebih dari 60% aset industri keuangan dikuasai konglomerasi


Selasa, 26 Januari 2021 / 09:15 WIB
Lebih dari 60% aset industri keuangan dikuasai konglomerasi

Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren konsolidasi perbankan dalam beberapa tahun terakhir terus ramai. Hal ini praktis membuat konglomerasi keuangan kian marak. 

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pada pertengahan tahun 2020 lalu total aset konglomerasi keuangan sudah bernilai Rp 7.486 triliun. Angka itu setara 63,6% dari total aset Sistem Jasa Keuangan (SJK) secara industri. 

Itu artinya bisa dibilang, sebagian besar perusahaan keuangan di Indonesia adalah bagian dari grup keuangan. Ini menunjukkan signifikannya pengaruh konglomerasi keuangan terhadap SJK di Tanah Air. Fakta berikutnya, dari jumlah total aset tersebut dominasi konglomerasi keuangan dipimpin oleh entitas utama yakni perbankan alias 95,7%. 

Baca Juga: Sri Bintang Pamungkas gugat BCA Rp 10 miliar, begini respons manajemen BCA

Salah satu grup konglomerasi keuangan yaitu PT Bank Central Asia Tbk (BCA) atau Grup BCA. Lihat saja, di tahun 2019 lalu BCA melalui anak usahanya sudah mengambilalih dua bank. Kedua bank itu adalah PT Rabobank Indonesia dan PT Bank Royal Indonesia. 

Rabobank kini telah berganti nama menjadi PT Bank Interim Indonesia pasca dicaplok sahamnya oleh BCA. Pun, bank tersebut sudah dimerger dengan PT Bank BCA Syariah untuk memperkuat bisnis anak usahanya tersebut. Sementara Bank Royal kini berganti nama menjadi PT Bank BCA Digital. 

Bank BCA Digital ini digadang-gadang untuk menangkap peluang pasar digital yang tidak bisa atau belum digarap oleh BCA. Direktur Keuangan BCA Vera Eve Lim menjelaskan, aturan mengenai konglomerasi sudah diatur dalam POJK Nomor 45 yang dirilis pada tahun 2020. 

Tentunya, seluruh aksi korporasi tersebut sudah mempertimbangkan aspek regulasi dan arahan OJK sebagai pengawas perbankan. "Pada prinsipnya BCA sebagai bagian dari sistem keuangan nasional mendukung berbagai kebijakan oleh regulator dan otoritas perbankan, bersama pelaku industri berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat terkini guna menopang pilar perekonomian nasional yang berkelanjutan," katanya. 

Baca Juga: Sah, Bank Permata masuk jajaran bank BUKU IV

Langkah-langkah tersebut pastinya ditujukan untuk memperkuat cakupan bisnis BCA sebagai salah satu grup keuangan terbesar di Tanah Air. Termasuk mendorong fungsi intermediasi yang nantinya bisa memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. 

Aki korporasi dari konglomerasi keuangan juga dilakukan dari pihak BUMN. Contohnya lewat rencana penggabungan tiga bank syariah milik bank BUMN yakni PT Bank Mandiri Syariah, PT Bank BRI Syariah Tbk dan PT Bank BNI Syariah. 

Meski belum rampung, Ketua Project Management Office Integrasi dan Peningkatan Nilai Bank Syariah BUMN sekaligus Direktur Utama Bank Mandiri Syariah Hery Gunardi bilang bank hasil merger itu nantinya akan memiliki modal inti Rp 20,4 triliun. Malah pihaknya menargetkan di tahun 2022 bank yang dinamai Bank Syariah Indonesia ini bisa naik ke BUKU IV dengan modal inti minimum Rp 30 triliun. 

Aksi konglomerasi keuangan juga marak dilakukan oleh konglomerat. Salah satunya Chairul Tanjung (CT) lewat perusahaannya PT Mega Corpora. 

Aksi yang dilakukan tahun lalu oleh CT yakni mengambilalih saham PT Bank Harda Internasional Tbk lewat pembelian 3,08 miliar saham atau sekitar 73,71% modal disetor. Selain itu, Mega Corpora belum lama ini juga melakukan penyetoran modal sebesar Rp 100 miliar ke PT BPD Bengkulu (Bank Bengkulu) pada 28 Desember 2020.  

Baca Juga: Hore! BI dan bankir sepakat bunga kredit tetap melandai di tahun ini

Menurut Ekonom dan Direktur riset CORE Piter Abdullah sangat wajar perbankan mendominasi konglomerasi keuangan. Tidak hanya di Indonesia. "Wajar saja, karena memang hampir semua transaksi keuangan pada akhirnya bermuara ke bank," terangnya kepada Kontan.co.id, Senin (25/1). 

Lebih lanjut Dia mengatakan, tren ini pun ke depan akan berlanjut dan semakin besar. Apalagi, di dalam negeri bank-bank besar memang kerap mengakuisisi bank-bank kecil. 

Hal ini tentu perlu disambut positif, sebab aksi korporasi semacam itu bisa memperbaiki struktur perbankan di Indonesia yang saat ini terlalu banyak bank kecil. Sekaligus membuat segmentasi pasar perbankan semakin kuat, yang kemungkinan menghambat transmisi kebijakan moneter. 

"Konglomerasi perbankan juga bisa membantu percepatan digitalisasi di sektor keuangan. Karena digitalisasi tentu membutuhkan dana yang besar dan bisa dipenuhi lewat konglomerasi," pungkasnya. 

Selanjutnya: Nasabah tajir tetap loyal menyimpan dananya di bank

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

×