Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto
"Banyak orang Jepang tidak suka diberitahu oleh suara-suara luar untuk mengubah cara mereka," kata Morley Robertson, seorang jurnalis setengah Jepang, setengah Amerika. Namun, lanjut dia jika orang asing menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang budaya atau aturan Jepang, maka orang Jepang yang sama akan berbalik menyemburkan dengan pujian.
Steve McGinnes, penulis "Surfing the Asian wave: How to survive and thrive in the new world order", meyakini bahwa iklan adalah tindakan “bunuh diri”. "Rasisme endemik akan menjadi topik sensitif dalam budaya apa pun. Tetapi Nike seharusnya tidak berpikir sebagai merek asing. Itu pantas ditunjukan Nike kepada tuan rumah mereka,” ujar Steve.
Iklan Nike menurutnya secara kasar menyoroti subjek yang menurut banyak orang seharusnya terlarang bagi para tamu. Itu adalah tindakan bunuh diri bagi Nike.
Nike bukan satu-satunya merek Barat yang mendapat kecaman karena tidak memahami budaya Asia dan perilaku konsumen. Tahun lalu, merek mewah Prancis Dior dikritik karena menggunakan peta China yang mengecualikan Taiwan.
Baca juga: Desember, harga PCX & Forza diskon Rp 11 juta di diler ini
Taiwan telah memiliki pemerintahan sendiri sejak 1950-an. Tetapi kebijakan resmi Beijing adalah bahwa pulau itu adalah provinsi China. "Arogansi dan rasa puas diri dapat menjadi musuh terburuk bagi merek Barat di Asia karena tim manajemen mungkin meremehkan kebanggaan konsumen Asia dan budaya lokal," kata Martin Roll, penasihat merek dan penulis bisnis Asia.
"Pada 2020, haruskah Amerika atau merek Amerika mengambil tempat tinggi pada rasisme dan memberi tahu seluruh dunia apa yang mereka lakukan salah?" tambah McGinnes.
Ia memahami banyak orang Jepang berpikir Nike tidak seharusnya melakukannya. Namun, Morley mengatakan Nike juga memahami sensitivitas masalah tersebut. "Mereka menceritakannya dari sisi individu yang unik. Sebagian besar iklan di Jepang mengesampingkan masalah sensitif seperti diskriminasi karena seseorang mungkin merasa tidak nyaman."
Tetapi kontroversi tidak selalu menyebabkan penurunan penjualan, dan sebenarnya bisa berdampak sebaliknya. Kampanye Nike di AS yang menampilkan Colin Kaepernick, mantan gelandang NFL yang berlutut selama lagu kebangsaan untuk memprotes ketidakadilan rasial, mengalami peningkatan penjualan.
"Penjualan Nike mungkin akan naik. Pembenci akan membeli barang dagangan mereka dengan cara apa pun," tambah Robertson.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Iklan Keragaman Nike Tuai Reaksi Keras di Jepang, Kenapa?",
Penulis : Bernadette Aderi Puspaningrum
Editor : Ardi Priyatno Utomo
Selanjutnya: Lowongan kerja Desember 2020 terbaru, ada 7 posisi di Bank BNI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News