Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - YOGYAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersiap melakukan penyesuaian tarif royalti batubara.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, regulasi terkait penyesuaian tarif sudah dirampungkan. "Sudah ada aturannya, tinggal eksekusi," ungkap Arifin di Yogyakarta, Kamis (24/3).
Meski demikian, Arifin belum merinci lebih jauh besaran penyesuaian yang bakal dikenakan nantinya untuk pelaku usaha.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, sejumlah pembahasan memang pernah dilakukan bersama pemerintah. "Kalau untuk pemegang IUP, pembahasan beberapa kali sejak pertengahan tahun lalu," kata Hendra kepada Kontan, Rabu (23/3).
Adapun, untuk tarif royalti yang berlaku bagi IUPK OP sudah dibahas sejak 2018 silam. Penambang berharap kenaikan tarif royalti perlu mempertimbangkan beban usaha dan outlook harga komoditas untuk jangka panjang. Oleh karena itu, tarif royalti yang baru perlu mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.
Hendra menjelaskan, industri batubara sejauh ini berkontribusi dalam mendukung perekonomian dan ketahanan energi nasional. Kenaikan harga komoditas batubara, di tengah kondisi resesi ekonomi akibat Pandemi Covid-19 menjadi berkah bagi perekonomian nasional.
Baca Juga: Prospek United Tractors (UNTR) Kembali Cerah di 2022
Hendra melanjutkan, diperkirakan harga komoditas di semester pertama tahun ini masih akan menguat disebabkan oleh situasi geopolitik konflik Rusia vs Ukraina. Sejauh ini rerata HBA periode Januari - Maret 2022 sebesar US$ 183,52 lebih tinggi dibandingkan dengan periode sama (yoy) pada 2021 sebesar US$ 82, 70 per ton.
Dengan asumsi ini, rerata HBA di 2022 bisa saja akan lebih tinggi dibandingkan 2021 sehingga target penerimaan negara yang ditetapkan Rp 42,36 triliun, dengan tarif royalti yang berlaku saat ini bagi pemegang IUP dan IUPK-OP, kemungkinan besar akan jauh terlampaui.
Hendra pun memastikan, penetapan tarif royalti merupakan kewenangan Pemerintah dengan berbagai pertimbangan terutama untuk jangka pendek kepentingan penerimaan negara yang sedang tertekan apalagi dengan melejitnya harga migas.
"Namun, kepentingan usaha jangka panjang juga perlu jadi bahan pertimbangan. Tarif royalti yang tinggi dalam jangka pendek akan lebih melambungkan penerimaan negara ditengah tren penguatan harga yang tidak normal yang sangat rentan dengan dinamika geopolitik," terang Hendra.
Hendra menambahkan, untuk jangka panjang dimana harga komoditas diperkirakan akan tertekan seiring tekanan isu perubahan iklim maka tarif royalti yang tinggi akan berpengaruh terhadap daya saing produk batubara nasional dan juga akan sangat menentukan kelangsungan usaha para penambang.
Dalam catatan Kontan, Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaludin menjelaskan, ketentuan tarif royalti batubara mengacu ke PP Nomor 81 Tahun 2019. Di beleid itu, tarif royalti IUP dibedakan menjadi 3 tingkat berdasarkan pada kualitas produknya dengan tarif 3%, 5%, atau 7% (kalori rendah, kalori menengah, dan kalori tinggi).
Sementara untuk rezim kontrak yaitu Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) harus membayar PNBP produksi yang dikenal dengan istilah Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) yang terdiri dari royalti batubara (sesuai peraturan perundang-undangan) dan Penjualan Hasil Tambang (PHT) yang tarifnya sebesar 13,5%.
Jadi, terdapat perbedaan tarif yang signifikan antara pemegang PKP2B dengan pemegang IUP Batubara.
"Berkenaan dengan hal tersebut, saat ini sedang dilakukan pembahasan dengan Kementerian Keuangan untuk menyesuaikan tarif royalti batubara agar perbedaan tarif antara PKP2B dengan IUP tidak terlalu signifikan. Sehingga PKP2B khususnya dengan kualitas batubara medium ke rendah dapat bersaing dengan IUP. Hal ini juga dilakukan dalam rangka peningkatan penerimaan negara dari royalti IUP," jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (11/3).
Baca Juga: Emiten Tambang dan Bank Paling Cuan di Tahun 2021
Perihal tarif IUPK yang sebesar 20%, Ridwan menyebutkan, itu merupakan tarif PNBP produksi bagi pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi PKP2B. Namun, besaran tarifnya bukan single tarif 20% melainkan akan diterapkan tarif berjenjang berdasarkan Harga Batubara Acuan (HBA).
Ridwan mengungkapkan, usulan tarif untuk IUPK sebagai kelanjutan operasi PKP2B berasal dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan yakni besaran tarif terendahnya adalah 14% yang akan meningkat seiring dengan kenaikan HBA.
Perihal skemanya, Ridwan mengatakan, harga batubara bergerak fluktuatif. Secara rata-rata selama 12 tahun terakhir HBA sekitar US$ 87,39/ton dengan HBA tertinggi terjadi pada November 2021 sebesar US$ 215,01. Sementara, HBA terendah terjadi pada September 2020 sebesar US$ 49,42/ton.
Adapun, HBA bulan Maret 2022 sudah jauh melampaui rata-rata HBA 12 tahun terakhir yaitu US$ 203,69/ton. Maka itu, Kementerian ESDM mengusulkan agar tarif royalti batubara untuk IUP maupun tarif PNBP produksi untuk IUPK sebagai kelanjutan operasi PKP2B diatur secara berjenjang dengan mengacu pada HBA.
"Hal ini dimaksudkan agar pemerintah dapat memaksimalkan potensi penerimaan negara pada saat harga batubara melambung tinggi, namun juga tetap menjaga keberlangsungan usaha Perusahaan pada saat harga batubara sedang rendah," imbuh Ridwan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News