kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kembangkan energi bersih, Pertamina alokasikan US$ 8 miliar


Kamis, 15 Juli 2021 / 09:35 WIB
Kembangkan energi bersih, Pertamina alokasikan US$ 8 miliar

Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina mengalokasikan sekitar US$ 8 miliar untuk investasi energi bersih pada kurun 2020-2024.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, alokasi capex untuk sektor Energi Baru Terbarukan mencapai sekitar 9% dari total investasi untuk tahun 2020 hingga 2024. Jumlah ini dinilai telah melampaui besaran investasi International Oil Company (IOC) lainnya yang berkisar 4,3% saja.

Adapun, investasi pada sektor energi bersih ini meliputi US$ 4 miliar untuk pengembangan pipeline distribusi dan transportasi gas, US$ 0,3 miliar untuk Liquefaction & Regasification, US$ 3 miliar untuk integrasi power plant dan sekitar US$ 0,7 miliar untuk investasi proyek lainnya.

"Ada beberapa upaya untuk pengurangan gas rumah kaca untuk target pengurangan emisi karbon 30% pada 2030," kata Nicke dalam gelaran Investor Daily Summit, Rabu (14/7).

Baca Juga: Proses peralihan kontrak vendor eksisting di Blok Rokan kini telah mencapai 100%

Nicke menjelaskan, ada sejumlah portfolio bisnis di sektor energi bersih yang bakal didorong oleh Pertamina. Pertama, peningkatan kapasitas panas bumi menjadi 1.128 MW pada 2026. Saat ini Pertamina tercatat telah mengoperasikan pembangkit panas bumi dengan total kapasitas 672 MW.

Kedua, pengembangan hidrogen melalui aset yang dimiliki. Nicke mengungkapkan, pengembangan hidrogen saat ini telah dimulai Pertamina melalui aset Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulubelu. 

Hidrogen yang dihasilkan pun digunakan untuk memproses biofuel pada kilang milik Pertamina. Secara khusus untuk hidrogen, Nicke menyebutkan konsumsi harian pada tahun ini mencapai 2,5 ribu ton per hari. Adapun, besaran marketnya mencapai US$ 40 miliar. 

Ketiga, Electric Vehicle & Energy Storage System. Nicke mengungkapkan, sebagai langkah awal Pertamina bersama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan Inalum pun telah membentuk konsorsium untuk masuk ke ekosistem baterai kendaraan listrik. Ditargetkan produksi baterai mencapai 140 GWh pada 2029 mendatang.

Keempat, gasifikasi. Nicke mengungkapkan pengembangan gasifikasi sebagai langkah transisi dari energi fosil menuju energi terbarukan, "Salah satu tantangan Energi Terbarukan adalah intermiten, salah satu solusi bisa digabungkan dan integrasikan dengan yang berbasis gas karena ini bisa jadi baseload dan peaker," sambung Nicke.

Selain itu, pengembangan gasifikasi diakui Nicke juga dapat digunakan untuk menghasilkan metanol yang dapat diimplementasikan dalam pengembangan bioenergi. Nantinya, upaya optimasi gas ditargetkan juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum melalui jargas dan kebutuhan gas untuk industri.

Kelima, Green Refinery. Nicke memastikan, upaya konversi dari kilang eksisting menjadi kilang hijau sudah dilakukan pertamina. Sebagai tahapan awal, kilang hijau yang dapat langsung menghasilkan fuel dari kelapa sawit, alias Green Refinery yang bersifat stand alone akan dimulai di Plaju.

"Ini akan kita replikasi dan bangun dilokasi lain untuk optimalkan sawit yang banyak di Indonesia untuk jadi salah satu primary energi substitusi fuel untuk industri dan transportasi," jelas Nicke.

Keenam, pengembangan bioenergy. Dalam pelaksanaannya, Pertamina bakal mengembangkan dua jenis bioenergi yakni yang bersifat campuran (blending) dan berdiri sendiri (stand alone). Nicke menyebutkan, selain biodiesel Pertamina juga tengah mengembangkan bio gasoline. 

Pertamina telah menjajaki ujicoba bersama Kementerian ESDM untuk implementasi bio gasoline. Langkah ini diharapkan bisa menekan impor gasoline. Terlebih pada 2030 ditargetkan impor gasoline sudah dapat disetop.

Ketujuh, Circular Carbon Energy yang merupakan upaya dekarbonisasi. Salah satunya yakni dengan penerapan teknologi dalam mengurangi emisi karbon.

Terakhir, Energi Baru Terbarukan (EBT). Nicke menjelaskan, saat ini impor LPG yang masih mencapai 70% diharapkan bisa digantikan dengan sumber daya yang dimiliki. Upaya substitusi yang coba dilakukan yakni dengan pengembangan gasifikasi batubara menjadi DME. Di saat bersamaan, implementasi carbon capture juga bakal tetap dilakukan demi menekan emisi dari gasifikasi batubara.

"Sesuai Grand Strategy Nasional itu di 2025 akan gantikan LPG sebanyak 5,2 juta ton per tahun," pungkas Nicke. 

Selanjutnya: Pakai BBM RON rendah, hemat di awal boros di bengkel

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

×