Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) mengeluhkan hambatan investasi dan serapan tenaga kerja di industri TPT karena kebijakan pemerintah yang dinilai memihak importasi produk garmen.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, jaminan pasar merupakan permasalahan utama sektor tekstil dan produk tekstil.
"Pemerintah telah gagal menjadikan pasar domestik sebagai jaminan pasar produk lokal dan dengan mudah memberikan karpet merah terhadap produk impor atas nama kepentingan penyediaan barang murah untuk konsumen tanpa memikirkan upaya peningkatan daya beli konsumen itu sendiri," ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (4/4).
Baca Juga: Menilik strategi pelaku industri garmen menggarap momentum lebaran tahun ini
Analisa APSyFI terhadap data pertumbuhan industri TPT yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan bahwa pengaruh investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) sektor TPT dalam 5 tahun terakhir terus turun hingga hanya tersisa 2,4% di tahun 2019 dan 2020. Sedangkan pengaruh neraca perdagangan juga terus turun hingga hanya 24% dari PDB TPT.
“Kalau kondisinya dipelihara terus seperti ini maka dalam 5 tahun ke depan neraca perdagangan kita hanya tinggal tersisa US$ 1 miliar dan pertumbuhan kita akan selalu negatif, padahal sebelum 2008 neraca kita bisa diatas US$ 7 miliar namun terus tergerus akibat kebijakan pro impor” jelas Redma.
Redma menegaskan, kebijakan pro impor ini telah menekan investasi dan kemampuan serapan tenaga kerja di sektor TPT. Menurutnya, pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance dan lain sebagainya untuk mendorong investasi, tapi kalau investasi itu tidak ada jaminan pasar, mana ada pengusaha yang mau investasi.
Rendahnya utilisasi produksi akibat pasar domestik yang terus tergerus barang impor dan rendahnya investasi ini juga menyebabkan serapan tenaga kerja di sektor TPT juga minim dan mengurangi fungsinya sebagai sektor padat karya. Redma bilang, banjirnya barang impor murah telah menggerogoti ekonomi kita selama bertahun-tahun.
“Jadi pikirannya tolong dibalik, kalau barang murah tersedia dari impor, tapi pengangguran masih belum terselesaikan, apakah konsumen punya kekuatan beli?” tambahnya.
Redma menyinggung masalah safeguard pakaian jadi yang mendapatkan hambatan dalam implentasinya dimana beberapa pihak di beberapa kementerian tidak menyetujuinya dengan alasan ketakutan inflasi.
Kata Redma, impor hanya dimainkan oleh segelintir orang, tapi kalau diproduksi industri lokal maka ribuan industri kecil menengah (IKM) terlibat dengan jutaan tenaga kerja. Kemudian juga ratusan industri kain dengan ratusan ribu tenaga kerjanya terlibat, ratusan industri benang dengan ratusan ribu karyawannya juga terlibat, hingga produsen serat dan karyawannya juga terlibat.
“Belum lagi rentetan pajak pertambahan nilai (PPN) dari hulu ke hilir dan pajak penghasilan (PPh) perusahaan atau karyawannya dari hulu ke hilir. Jadi pemerintah mau pilih sekelompok importir itu atau jutaan tenaga kerja dan stimulus pasar bagi investasi?” kata Redma.
Baca Juga: API ungkap dampak naiknya harga bahan baku ke industri tekstil
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI) mendesak agar kebijakan safeguard untuk barang jadi garmen segera diberlakukan. Hal itu dibutuhkan lantaran makin tertekannya pelaku IKM garmen Tanah Air, oleh masifnya gempuran barang jadi impor dari China dan Thailand.
Sekretaris Jenderal APIKMI Widia Erlangga mengakui bahwa satu tahun belakangan ini, semua sektor usaha di dalam negeri dipaksakan menyesuaikan diri dengan kondisi pandemi Covid-19. Menurutnya, pemerintah seringkali menyanjung IKM atau industri kecil menengah lantaran dianggap mampu bertahan dalam situasi yang sulit seperti saat ini. Namun, pernyataan pemerintah dinilai bertolak belakang dengan keadaan yang IKM alami saat ini.
Ketua Bidang Organisasi API Jawa Barat Kevin Hartarto menyatakan status net eksportir industri TPT nasional bisa berubah menjadi net importir pada tahun depan jika safeguard tersebut tidak segera diimplementasikan. “Karena data menunjukan tren peningkatan impor garmen yang signifikan selama 2017—2019,” tuturnya.
Kevin menyebutkan, setengah pos tarif produk garmen menunjukkan tren peningkatan volume impor yang signifikan dalam tiga tahun terakhir. Bahkan ada satu pos tarif garmen yang volume impornya naik hingga 200% lebih tinggi dari tahun lalu.
Ia menilai, maraknya impor garmen di dalam negeri dikarenakan pabrikan garmen Tiongkok berkontribusi sekitar 25% dari total kebutuhan garmen global, sedangkan Indonesia baru 1,7%.
Selain itu, pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian dagang bebas (FTA) dengan Tiongkok yang sehingga bea masuk garmen Tiongkok jadi 0% ditambah RCEP atau ASEAN+5 yang meliberalisasi tarif TPT kita bagi 11 negara tetangga. Kevin menilai pemberlakuan safeguard sangat diperlukan untuk menyelamatkan IKM dan UMKM karena sebagian besar pelaku usaha produksi garmen adalah IKM dan UMKM.
“Implementasi safeguard selain mengurangi impor dan menyelamatkan devisa, yang lebih penting adalah kembali merangsang penciptaan banyak pelaku industri kecil dan menengah (IKM) garmen dan menyerap tenaga kerja," ujar Kevin.
Selanjutnya: Industri tekstil masih dibayangi berbagai tantangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News