Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) menilai implementasi kebijakan harga gas untuk industri sebesar US$ 6 per mmbtu telah membantu menaikkan daya saing dan utilitas.
Hal itu ditegaskan oleh Ketua AKLP Yustinus Gunawan. "Harga US$ 6 tersebut menaikkan daya saing, sehingga utilisasi meningkat perlahan mulai Kuartal III berlanjut ke Kuartal IV," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (28/12).
Namun, upaya peningkatan industri kaca lembaran bukan tanpa catatan. Menurut Gunawan, ratio impor juga mengalami peningkatan. Khususnya impor kaca lembaran tidak berwarna. Padahal, produsen lokal juga fokus memperkuat lini kaca lembaran tidak berwarna yang memiliki pangsa pasar terbesar di dalam negeri.
Jika impor terus merangsek, sambung Gunawan, maka volume utilisasi akan menurun sehingga mengurangi daya saing. "Sehingga dibutuhkan kebijakan pengendalian impor dalam bentuk pembatasan pelabuhan impor di luar Pulau Jawa, misalnya di Pelabuhan Dumai dan Pelabuhan Bitung," terang Gunawan.
Sedangkan untuk kebijakan harga gas industri, Gunawan menyampaikan bahwa dari sisi harga, semua perusahaan anggota AKLP sudah menerima harga gas US$ 6 per mmbtu sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM 89/2020. Namun dari sisi volume, belum sepenuhnya demikian.
Dia bilang, di Jawa Bagian Barat, semua perusahaan anggota AKLP sudah menerima harga US$ 6 per mmbtu terhadap seluruh volume pemakaian. Sedangkan untuk anggota AKLP di Jawa Bagian Timur memang sudah menerima harga US$ 6 per mmbtu, namun belum terhadap semua volume pemakaian. Sehingga secara rerata masih ada yang harus membayar lebih tinggi dari US$ 6 per mmbtu.
Di sisi lain, pemerintah pun meminta agar industri atau perusahaan penerima bisa mengoptimalkan kebijakan harga gas US$ 6 per mmbtu ini untuk meningkatkan daya saing dan kompetitif. Gunawan pun menilai, parameter tersebut cukup fair jika dijadikan landasan pemerintah dalam melakukan evaluasi. "Fair kalau dilakukan evaluasi begitu, karena penurunan harga mensyaratkan azas manfaat," sambungnya.
Baca Juga: Asahimas Flat Glass bidik peningkatan penjualan ekspor, ini alasannya
Namun, Gunawan meminta pemerintah pun harus mempertimbangkan momentum yang tepat jika akan mengevaluasi kebijakan harga gas industri tersebut. Menurutnya, evaluasi paling tidak bisa dilakukan per perusahaan setelah satu tahun diberlakukannya Permen EDM 89/2020.
Terlebih pada masa sekarang, pemerintah diminta untuk terlebih dulu menunggu pemulihan pandemi covid-19. "Idealnya setelah pandemi berlalu, setidaknya dilakukan pada akhir 2021, saat pengendalian pandemi sudah lebih dapat diperkirakan berakhirnya. Perlu dipertimbangkan aktitifitas ekspor oleh negara-negara yang relatif sudah sembuh dari Covid untuk menggenjot ekspornya," pungkas Gunawan.
Mengutip pemberitaan Kontan.co.id, Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian berharap imlementasi harga gas US$ 6 per mmbtu bagi 7 sektor industri dapat semakin dioptimalkan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan total volume penyaluran gas untuk 176 perusahaan tersebut mencapai 957 ribu hingga 1,18 juta bbtud. "kami pemerintah sangat yakin bahwa sektor industri yang dapat manfaat harga gas bisa memperkuat daya saing terhadap produk dari negara lain," ujar Agus dalam Konferensi Pers Virtual, Senin (28/12).
Disisi lain, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin Muhammad Khayam bilang jika merujuk Perpres 40/2016 maka industri penerima manfaat harus meningkatkan kontribusi pajak. "Kedua, mereka didorong lakukan ekspansi. Jadi kalau performance tidak bagus ada perusahaan yang (akan) dinaikkan jadi US$ 6,5 per MMBTU atau US$ 7 per mmbtu," kata Khayam dalam diskusi virtual, Rabu (9/12).
Selanjutnya: Pemerintah targetkan penerimaan pajak pada 2021 tumbuh tipis, ini kata pengamat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News