Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor mengatakan guna mengejar target penerimaan, pihaknya akan melakukan pengawasan terhadap pajak wajib pajak indikasi transfer pricing.
Adapun Ditjen Pajak telah mengatur jenis-jenis dokumen penentuan harga transfer melalui penetapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya.
Baca Juga: Kejar target, Ditjen Pajak petakan potensi dua jenis wajib pajak ini
Neilmaldrin menyampaikan terkait dengan penghindaran pajak, yang perlu diketahui bersama bahwa penghindaran pajak merupakan suatu tindakan meminimalkan beban pajak yang dilakukan dengan memanfaatkan celah (loophole) ketentuan perpajakan. Praktik ini dapat berdampak pada penerimaan pajak negara.
Selain itu, Ditjen Pajak melakukan bimbingan teknis kepada pegawai untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian dalam mengawasi kepatuhan perpajakan wajib pajak seperti bimbingan teknis untuk transfer pricing.
Otoritas pajak juga terus melakukan kegiatan sosialisasi dan menyampaikan berbagai informasi kepada wajib pajak dan masyarakat terkait perpajakan untuk menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya membayar pajak untuk pembangunan ekonomi nasional.
“Selain itu, DJP juga melakukan kegiatan pengawasan, pemeriksaan, serta penegakan hukum atas pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak,” kata Neilmaldrin kepada Kontan.co.id, Sabtu (27/3).
Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan perlu memahami bahwa transfer pricing pada dasarnya harus dilihat secara netral.
Transfer pricing merupakan konsekuensi logis dari strategi grup perusahaan yang bertujuan untuk menciptakan keunggulan kompetitif melalui sinergi antarafiliasi.
Setali tiga uang, transfer pricing baru bisa dianggap manipulatif jika akibat pengaruh pengendalian-transaksi antarafiliasi sengaja didesain untuk menghindari beban pajak.
Oleh karenanya, otoritas pajak hanya diperkenankan melakukan koreksi selama harga atau laba atas transaksi tersebut tidak wajar. Hal ini dapat diuji melalui penerapan prinsip kewajaran arm’s length principle (ALP).
Namun demikian, Bawono mengatakan tidak dapat dipungkiri bahwa skema manipulasi transfer pricing perlu untuk menjadi perhatian otoritas pajak. Menurut studi yang dilakukan oleh Tax Justice Network tahun 2020, setiap tahunnya Indonesia berpotensi mengalami revenue forgone sebesar US$ 48 miliar.
Menariknya, skema manipulasi transfer pricing merupakan skema yg relatif dominan dalam modus penghindaran pajak.
Kata Bawono dalam konteks pandemi saat ini, salah satu strategi optimalisasi penerimaan pajak yang tepat ialah dengan mengurangi tax gap dan tanpa mendistorsi ekonomi terlalu dalam. Dengan demikian, upaya mengurangi tax gap dengan fokus pada manipulasi transfer pricing adalah sesuatu yang relevan.
Kendati begitu upaya menentukan nilai yang dianggap wajar menjadi sarat perdebatan dan menimbulkan sengketa karena bersifat arbitrary.
Baca Juga: Sri Mulyani: Belanja modal Februari 2021 naik 253%
“Dengan demikian, implementasi ALP juga perlu dilakukan secara hati-hati dan membutuhkan pemahaman bisnis yang mendalam,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Kamis (25/3)
Hanya saja, Bawono mengatakan tantangan dalam implementasi ALP juga kian meningkat dalam konteks pandemi. Khususnya dalam menemukan pembanding transaksi yang andal untuk menguji kewajaran transaksi antar afiliasi.
“Dalam menciptakan kepastian, OECD telah merilis panduan atas implikasi Covid-19 terhadap transfer pricing dan solusi praktis dalam menghadapinya. Panduan tersebut seyogyanya dipertimbangkan oleh otoritas pajak dalam mengevaluasi transfer pricing wajib pajak,” ujar Bawono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News