kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Investasi EBT jangka panjang diproyeksi telah biaya hingga ribuan triliun


Selasa, 21 September 2021 / 06:25 WIB
Investasi EBT jangka panjang diproyeksi telah biaya hingga ribuan triliun

Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Indonesia masih optimistis dapat mencapai net zero emission carbon dengan meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) di masa datang. Nah, untuk merealisasikan rencana itu, dibutuhkan investasi dengan nilai yang super besar.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM memaparkan, investasi yang berbasis fosil saat ini sudah tidak ada sehingga dari sisi pendanaan otomatis hanya ada investasi untuk yang sifatnya energi bersih.

Dia mengungkapkan, kebutuhan investasi EBT dalam roadmap yang basisnya on grid di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, meskipun perhitungannya belum terlalu detail, dibutuhkan Rp 500 triliun untuk mencapai porsi pembangkit listrik berbasis EBT hingga 20 GW.

"Adapun untuk mengejar hingga 2060, dalam hitungan kami, diperlukan Rp 10.000 triliun. Ini hitungan berbasis pengetahuan sekarang," kata dia dalam Press Conference The 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan virtual, Senin (20/9).

Baca Juga: Kementerian ESDM canangkan 6 strategi untuk membangun sektor ketenagalistrikan

Proyeksi kebutuhan investasi ini bisa saja berubah mengikuti keekonomian dari komponen EBT. Dadan mencontohkan, harga baterai dari waktu ke waktu berubah, atau harga komponen PLTS juga turun seiring dengan produksinya yang semakin masif.

Dadan mengakui, hampir setiap hari pihaknya kedatangan tamu yang berniat untuk membenamkan uang-nya di proyek EBT.

"Pak Menteri sudah mendapatkan surat misalkan dari Saudi Arabia, Uni Emrat Arab (untuk investasi EBT). Begitu juga,  investor dalam negeri sudah sangat banyak yang siap mensukseskan ini," ungkapnya.

Lebih lanjut, Dadan bilang, proyek transisi energi terbarukan tersebut perlu menunggu RUPTL. Tujuannya agar Perpres Energi Baru Terbarukan (EBT) bisa segera diproses.

“Kami selesaikan dulu RUPTL, didalami dulu dari sisi anggaran, apakah perlu APBN atau biaya penggantian. Kemudian kami sounding ke Kementerian Keuangan untuk Perpres Energi Baru Terbarukan (EBT). Ini sudah proses, sebentar lagi RUPTL selesai dibahas, lalu di Kemenkeu hanya dari sisi perhitungan anggaran saja,” kata Dadan.

Direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan, perihal angka investasi dan bauran energi untuk mencapai net zero emission carbon 2050-2060 bisa berubah seiring keekonomiannya, angka itu sangat dinamis.

IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh US$ 25 miliar sampai US$ 30 miliar, atau sekitar Rp 420 triliun.

Investasi akan lebih tinggi pada 2030–2050, yakni mencapai US$ 50 miliar hingga US$ 60 miliar per tahun. Nilai investasi itu termasuk untuk pengembangan di sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Fabby menyebut, investasi itu juga mencakup pengembangan green hydrogen, serta sintetik fuel untuk kendaraan yang tidak dapat menggunakan listrik, seperti pesawat dan kapal.

Dia mengakui, angka investasi ini memang besar. Namun, jangan dilihat sebagai beban biaya, melainkan sebagai kesempatan untuk menarik investasi.

Oleh karenanya, Fabby menegaskan regulasi dan perencanaan sangat penting untuk menarik minat investasi. Dengan meredupnya investasi batubara di PLTU, dia menilai, lebih banyak investor yang akan masuk ke proyek EBT.

Baca Juga: Konsumsi listrik tahun ini ditargetkan tumbuh hingga 4,75%, ini sektor penopangnya

"Perlu dipastikan juga, jangan sampai kita kekurangan proyek yang bankable. Selain itu juga, pembaruan data serta perencanaan yang terintegrasi dan solid akan menjadi sinyal bagus bagi investor untuk masuk," tegasnya.

Widhyawan Prawiraatmadja, Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) menilai industri batubara membutuhkan sinyal yang lebih kuat melalui pajak karbon.

"Kalau bicara bisnis konteksnya insentif, semuanya berbicara  masalah ekonomi tetapi tidak ada yang menyinggung berapa nilai karbon itu sendiri,"

Widhyawan melihat jikalau pajak karbon dan cap & trading tidak ada, pelaku industri merasa "musuh masih jauh". Artinya, mereka masih melihat bahwa dengan naiknya harga batubara dan gas atau kebutuhan produk ini masih besar ke depannya, maka investasi di sektor migas tetap akan terjadi.

Lebih lanjut, Widhyawan menggambarkan, Indonesia  menerapkan pajak karbon US$ 5 per ton, maka  aktornya akan berfikir kalau gitu kena pajak saja tidak apa-apa.

"Kalau begitu sama saja tidak berfungsi. Kecuali kalau seperti di luar, pajaknya US$ 50 per ton pasti sudah mikir banget mau pake fosil,” tandasnya.

Selanjutnya: Harga komoditas energi naik, simak rekomendasi saham emiten minyak dan gas berikut

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×