Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Logam tanah jarang (LTJ) alias rare earth element (REE) bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba). LTJ tak lagi sebagai radio aktif, namun masuk ke dalam golongan mineral logam yang dapat diusahakan.
Mining and Industry Indonesia alias MIND ID pun menyambut baik kebijakan tersebut. Senior Vice President Corporate Secretary MIND ID Rendi A. Witular mengatakan, pengembangan LTJ di Indonesia memang perlu didorong dari sisi regulasi.
"Kita menyambut baik rencana aturan tentang LTJ karena dari sisi regulasi sekarang banyak aturan yang perlu dirapikan," kata Rendi kepada Kontan.co.id, Senin (28/12).
Meski begitu, dia tak menegaskan apakah regulasi terkait LTJ ini cukup di dalam PP Minerba atau perlu diterbitkan regulasi yang mengatur secara khusus. "Apa pun produk hukumnya, selama itu bisa mendukung pengolahan LTJ kita sudah senang," sambung Rendi.
Yang pasti, dua menekankan bahwa tantangan pengembangan LTJ di Indonesia bukan hanya dari sisi regulasi. Masih ada tantangan lainnya, seperti untuk memastikan tingkat potensi sumber daya dan cadangan LTJ agar bisa diolah secara berkelanjutan. Setelah itu, terkait faktor keekonomian jika LTJ dikembangkan ke produk yang lebih lanjut.
Lalu, mengenai faktor ketersediaan teknologi dalam pengolahan LTJ. Apalagi, karakteristik LTJ di Indonesia cukup berbeda. Sebab, keberadaan LTJ di Indonesia tidak langsung ditambang, melainkan hasil dari produk ikutan atau produk samping dari suatu komoditas tambang mineral.
"LTJ ini kalau di Indonesia beda dengan negara lain. Di kita, LTJ itu komoditas turunan, produk ikutan. Karena bukan (komoditas) yang langsung ditambang, sehingga masih perlu diteliti lebih lanjut lagi tingkat cadangan dan keekonomisannya," jelas Rendi.
Baca Juga: MGEI sambut pengaturan baru logam tanah jarang di PP Minerba
Asal tahu saja, holding pertambangan BUMN ini pun sudah melakukan identifikasi pada sejumlah jenis LTJ yang ada di Indonesia. Namun sampai saat ini yang paling dominan teridentifikasi baru pada monasit dari timah dan lumpur merah (red mud) dari pengolahan bauksit menjadi alumina.
Rendi mengungkapkan, pengolahan monasit dari pertambangan timah di Bangka Belitung masih perlu waktu. Sebab, masih dibutuhkan eksplorasi lanjutan untuk mengetahui tingkat cadangan yang berkelanjutan. Hal itu penting lantaran mempengaruhi tingkat keekonomian yang layak saat pabrik pengolahan (smelter) itu dibangun.
Sementara untuk red mud, pasokannya akan melimpah sebagai produk samping atau sisa olahan bauksit. Yakni setelah beroperasinya Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat.
Namun, ketersediaan teknologi pengolahan red mud untuk menjadi produk turunannya pun masih menjadi tantangan. Kata Rendi, ketersediaan teknologi mesti dibarengi dengan bisnis model yang ekonomis dengan tingkat margin dan pengembalian modal yang menarik.
"Teknologi ada, cuman bagaimana bisa diolah menjadi produk yang punya profit, margin tinggi, itu masih pertanyaan. Bisa saja diolah, tapi jika margin-nya tipis dan return lama, bagaimana? itu komponen yang juga harus dipertimbangan," pungkas Rendi.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menjelaskan, dengan masuknya tanah jarang ke dalam golongan mineral logam, maka pengusahaan wilayahnya dilakukan melalui sistem lelang. Pengaturan terkait pengusahaan tanah jarang ini telah masuk di dalam Rancangan PP tentang pengusahaan minerba.
"Proyeksi ke depannya, LTJ akan diusahakan dan pengurusan perizinannya berada di bawah Kementerian ESDM," kata Ridwan kepada Kontan.co.id, Senin (28/12).
Dalam Indonesia Mining Outlook 2021, Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung menerangkan bahwa pengaturan LTJ dalam aturan turunan UU Minerba yang baru (UU Nomor 3/2020) berbeda dari regulasi sebelumnya. Di dalam kerangka regulasi yang baru itu, LTJ dipisahkan dari radio aktif sehingga bisa diusahakan sendiri.
Perubahan kebijakan ini mempertimbangkan perkembangan yang ada, termasuk kebutuhan ke depan untuk pengelolaan LTJ sebagai komoditas strategis. "Kalau yang dulu, itu kan belum diatur. Karena masih merupakan mineral ikutan dari timah dan sebagainya dan ada unsur-unsur radio aktifnya. Sehingga harus dipisahkan, saat itu kita masih kebingungan. Kita sudah memasukannya di dalam RPP," jelas Wafid.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto menyampaikan bahwa pihaknya memang sedang melakukan kajian terkait potensi LTJ. Tak hanya dari tingkat cadangan, namun juga menyangkut aspek keekonomian saat diproses.
Kata dia, pemerintah pun menampung masukan dari sejumlah pihak. "Ada beberapa masukan potensi cukup besar. Ada riset lain yang menyebutkan ini pengembangan masih agak sulit. Perlu disikapi secara hati-hati oleh pemerintah terkait LTJ," kata Septian.
Namun, pihaknya optimistis bahwa potensi LTJ di Indonesia cukup melimpah. Sebab, LTJ sebagai mineral ikutan terdapat di sejumlah komoditas tambang, seperti timah, nikel dan bauksit. Menurut Septian, pengembangan LTJ di Indonesia akan sejalan dengan kewajiban peningkatan nilai tambah atau hilirisasi mineral di dalam negeri.
"Dengan mendorong hilirisasi di dalam negeri saya pikir kita bisa melihat seberapa besar potensinya. Karena kalau kita cuman ekspor bahan mentah, kita nggak tahu, ini sebenarnya yang di dapat di sana (negara lain) bisa jadi apa saja," pungkas Septian.
Selanjutnya: Tak lagi masuk radio aktif, PP Minerba atur pengusahaan mineral Logam Tanah Jarang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News