Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penolakan terkait Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 tahun 2022 terus ramai diperbincangkan masyarakat, terutama di media sosial.
Hal ini terjadi karena pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengembalikan fungsi Jaminan Hari Tua (JHT) sebagai dana yang dipersiapkan agar pekerja di masa tuanya memiliki harta sebagai biaya hidup di masa sudah tidak produktif lagi.
Karena itu, uang JHT sudah seharusnya diterima oleh buruh di usia pensiun, cacat total, atau meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Daulay mengungkapkan bahwa pihak Komisi IX belum mendapat keterangan yang jelas dan lengkap terkait dengan Permenaker Nomor 2 tahun 2022.
Baca Juga: Penerima Manfaat JHT BPJS Ketenagakerjaan Dibatasi Usia 56 Tahun, Ini Pro Kontranya
Dalam rapat-rapat dengan Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan, perubahan tentang mekanisme penarikan JHT menurutnya tidak dibicarakan secara khusus. Bahkan ia merasa belum disampaikan secara komprehensif.
"Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah disounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya, kita juga bisa menjelaskan,” katanya kepada Kontan.co.id, minggu (13/2).
Saat ini, ia berpendapat bahwa Permenaker tersebut harus dipastikan agar tidak merugikan para pekerja. Gelombang penolakan juga sudah ia dengar dari asosiasi dan serikat pekerja. Ia khawatir penolakan ini akan menyebabkan tidak efektifnya kebijakan yang dimaksud.
Menurut Saleh, saat ini pekerja sering merasa ditinggalkan, karena ada banyak kebijakan pemerintah yang seakan diputuskan secara sepihak. Ia mencontohkan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang menyebabkan persoalan upah minimum
Selain itu ia juga mendengar bahwa kebijakan ini dibuat agar tidak ada klaim ganda, karena adanya jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), di pihak lain ada JHT. Saleh juga mempertanyakan payung hukum UU JKP, yakni UU Ciptaker.
“Bukankah permenaker ini dikeluarkan setelah putusan MK yang menyatakan UU ciptaker inkonstitusional bersyarat? Kalaupun misalnya JKP sudah boleh diberlakukan, lalu mengapa JHT harus 56 tahun? Apa tidak boleh misalnya diambil berdasarkan situasi dan kondisi pekerja? Katakanlah, misalnya, karena kondisi pekerja yang sangat sulit, lalu dibolehkan dapat JKP dan JHT? Atau banyak opsi lain yang dimungkinkan,” jelasnya.
Baca Juga: Kemnaker: JHT Merupakan Program Pelindungan Sosial Jangka Panjang
Di sisi lain, Saleh melihat kebijakan ini kurang sosialisasi. Edukasi kepada masyarakat mengenai kebijakan ini dinilai belum maksimal. “Artinya, Kementerian Ketenagakerjaan belum maksimal mengedukasi masyarakat terkait JKP,” katanya.
Menurutnya saat ini Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 masih sangat layak untuk diperbincangkan di publik. Diskusi publik dinilai akan membuat masyarakat ikut memberikan masukan, terutama dari kalangan pekerja. Apabila dalam diskusi tersebut JKP dinilai bagus, ia menilai masyarakat akan mendukung.
“Saya melihat bahwa Permenaker No. 2/2022 masih sangat layak untuk diperbincangkan di publik. Diskusi publik itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, terutama dari kalangan pekerja. Kalau hasil diskusi publik itu ternyata menyebut bahwa permenaker ini merugikan para pekerja, kita mendorong agar Permenaker ini dicabut,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News