kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45916,01   -19,50   -2.08%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini alasan pemerintah batal turunkan tarif PPh Badan pada tahun depan


Kamis, 07 Oktober 2021 / 17:15 WIB
Ini alasan pemerintah batal turunkan tarif PPh Badan pada tahun depan

Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah batal menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan tahun depan sebesar 20% sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dus, tarif pajak korporasi pada 2022 tetap sebesar 22%.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Beleid sapu jagad perpajakan tersebut tengah dibahas dalam Rapat Paripurna  Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU HPP, Kamis (7/10).

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan alasan pemerintah tidak menurunkan tarif PPh Badan karena sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh seiring dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan tahun depan sebesar Rp 1.510 triliun. Angkat tersebut naik 4,5% dari target tahun ini sebesar Rp 1.444,54 triliun.

Baca Juga: Rapat paripurna DPR, batal kenakan PPN sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan

Namun demikian, Yasonna menekankan dengan besaran tarif PPh Badan yang berlaku tetap dapat menjaga iklim investasi. Oleh karena itu, tarif PPh Badan tetap akan sebesar 22% untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya.

Menurut Yanonna, tarif PPh Badan di Indonesia tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN sebesar 22,17%, negara-negara OECD 22,81%, negara-negara Amerika sebesar 27,16%, dan negara-negara G-20 sebesar 24,17%.

Di samping itu, untuk tetap mengoptimalkan PPh Badan, RUU HPP juga memberikan payung hukum untuk penerapan pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (GloBE) bagi perusahaan multinasional.

Yasonna menyebut hal tersebut sebagai implementasi kesepakatan perpajakan internasional dalam rangka mencegah dan mengatasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Sementara itu, pemerintah juga menyepakati usulan DPR untuk tidak mencantumkan ketentuan mengenai Pajak Minimum Alternatif atau Alternative Minimum Tax (AMT) dan General Anti Avoidance Rule (GAAR) dalam RUU ini.

Baca Juga: Jelang pengesahan RUU HPP, ini kata Menko Airlangga dan Sri Mulyani

“Agar kondisi kegiatan usaha dan iklim investasi tetap kondusif. Pemerintah tetap akan melakukan langkah-langkah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melalui kerjasama internasional untuk melindungi basis pajak dan kepentingan penerimaan negara dari praktik-praktik penghindaran pajak,” kata Yasonna saat Rapat Paripurna, Kamis (7/10).

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai keputusan pemerintah dan DPR RI untuk membatalkan penurunan tatif PPh Badan cukup mengejutkan.

Sebab, sebelumnya tidak dimasukkan dalam rancangan awal RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta berbeda dengan agenda penurunan tarif sebagaimana diatur melalui UU 2/2020.

Walau demikian, Bawono mengatakan adanya skenario tersebut justru memiliki relevansi dengan perkembangan terkini. Pertama, ini selaras dengan tren reformasi pajak di berbagai negara. Trennya ialah pemerintah lebih banyak memberikan dukungan fiskal khususnya di saat pandemi bagi korporasi serta mendesain skema insentif pajak untuk ancang-ancang meningkatkan daya saing pasca pandemi.

“Namun umumnya tidak melalui skema penurunan tarif PPh badan. Dalam konteks Indonesia, berbagai relaksasi dan insentif sebenarnya juga sudah tersedia, mulai dari insentif pajak dunia usaha dalam program PEN, dorongan bagi sektor properti dan otomotif, hingga adanya skema supertax deduction, tax holiday, dan sebagainya,” ucap Bawono kepada Kontan.co.id, Rabu (6/10).

Kedua, sebagai antisipasi adanya rencana global minimum tax yang rencananya akan disepakati secara global pada Oktober ini. Ini sebagaimana rencana OECD dengan dukungan G20 yang membuat proposal tarif pajak efektif secara minimum yang akan berlaku secara global.

“Hal ini juga akan membuat besaran tarif PPh badan tidak terlalu relevan dalam perebutan investasi secara internasional,” ucap Bawono.

Selanjutnya: Ada rencana tax amnesty jilid II, rasio pajak diprediksi akan meningkat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×