Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemeritah terkait program pengampunan pajak atau tax amnesty dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mendapat batu sandungan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam beleid tersebut, pemerintah meminta program pengampunan pajak digelar pada 1 Juli 2021 – 31 Desember 2021. Namun karena periode waktu yang sudah lewat, DPR minta pelaksanaannya ditangguhkan menjadi di tahun 2022.
Hal ini juga mempertimbangkan, bahwa RUU yang mengusung metode omnibus law tersebut masih dalam proses pembahasan antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Panitia Kerja (Panja) RUU KUP di Komisi XI DPR RI.
Untuk itu, dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU KUP yang dihimpun Kontan.co.id menyatakan, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Fraksi Partai Keadilan bangsa (PKB) meminta, program pengampunan pajak tersebut digelar pada 1 Januari 2022 – 30 Juni 2022.
Baca Juga: Mayoritas partai politik usulkan tarif tax amnesty lebih rendah dari RUU KUP
Kemudian, Fraksi Partai Gerindra mengusulkan agar program pengampunan pajak tersebut dilaksanakan pada 1 Juli 2022 – 31 Desember 2022. Sementara, Fraksi Partai Demokrat minta paling lambat satu tahun setelah RUU KUP diundangkan.
Selain waktu pelaksanaan, parlemen juga menyoroti besaran tarif yang diusulkan oleh pemerintah. Adapun dalam RUU KUP pemerintah mengusulkan dua skema program pengampunan pajak. Pertama, ditujukan kepada WP peserta tax amnesty 2016-2017.
Alumni peserta tax amnesty tersebut dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.
Harta yang diperoleh para alumni tax amnesty tersebut terhitung sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. Nantinya, dalam program pengampunan pajak teranyar, penghasilan WP terkait dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 15%.
Namun apabila harta kekayaan itu kedapatan diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) maka tarif PPh final yang dipatok lebih rendah yakni 12,5%. Selain itu para alumni tax amnesty lima tahun lalu juga dibebaskan dari sanksi administrasi.
Baca Juga: Ekonomi dirasa belum pulih, pelaku IHT tolak kenaikan cukai
Fraksi Partai Golkar meminta tarif pada skema program pengampunan pajak diturunkan menjadi 6% dan Fraksi PKB 5%. Keduanya meminta tarif yang lebih rendah agar bisa menjadi pemacu bagi wajib pajak (WP) untuk ikut program Kebijakan I Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak.
Kemudian, Fraksi Gerindra dan Fraksi Nasdem serempak meminta tarif 6% bagi wajib pajak yang kurang mengungkapkan harta bersihnya dan 10% untuk wajib pajak yang belum mengungkapkan harta bersihnya pada tax amnesty 2016-2017. Tujuannya untuk menjadi pembeda antara WP yang kurang mengungkapkan dan yang belum mengungkapkan harta bersih.
Dengan alasan yang sama, Fraksi Partai Demokrat berharap tarif 10% untuk WP yang kurang mengungkapkan harta bersih, dan 15%% bagi WP yang belum mengungkapkan harta bersih.
Kedua, untuk harta alumni tax amnesty 2016-2017 yang telah diinvestasikan di surat berharga negara (SBN), parlemen juga meminta tarif lebih kecil. Fraksi Golkar minta 5%, Fraksi PKB 3,5%, Fraksi Gerindra 5% dan 8,5%, Fraksi Nasdem 5% dan 8%, serta Fraksi Demokrat 7,5% dan 12,5%.
Dua tarif yang diusulkan Fraksi Gerindra, Fraksi Nasdem, dan Fraksi Demokrat sama-sama beralasan menggunakan tarif rendah bagi WP yang kurang mengungkapkan hartanya dalam SBN, dan tarif tinggi untuk yang belum mengungkapkan hartanya dalam SBN.
Fraksi PDIP tak merekomendasikan tarifnya, tapi meminta agar pemerintah membuat tarif lebih beragam memperhatikan preferensi WP dan kepentingan pemerintah dalam memperoleh tambahan investasi.
Skema kedua, program pengampunan pajak/tax amnesty yang diusulkan pemerintah dalam RUU KUP yakni merupakan pengampunan pajak atas harta yang peroleh WP sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.
Syaratnya, masih dimiliki pada tanggal 31 Desember 2019, tapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh OP tahun pajak 2019. Lebih lanjut pasal tersebut juga mengatur, WP orang pribadi tersebut harus memenuhi tiga ketentuan antara lain tidak sedang dilakukan pemeriksaan, untuk tahun pajak 2016 hingga 2019.
Baca Juga: Mayoritas fraksi di DPR dukung pengenaan pajak bagi wajib pajak merugi
Kemudian, tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan, untuk tahun pajak 2016 sampai dengan 2019. Terakhir, tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan.
Adapun untuk WP atas pengungkapan kekayaan 2016-2019 tersebut dikenai PPh Final sebesar 30% dan 20% jika diinvestasikan dalam instrumen SBN. Mereka juga dibebaskan dari sanksi administrasi pajak.
Untuk skema kedua, PDIP minta lebih beragam, Fraksi Golkar minta 9%, Fraksi Gerindra, Fraksi Nasdem, Fraksi Demokrat 12%, Fraksi PKB 10%.
Sementara, untuk WP yang baru mengikuti program pengampunan pajak dengan harta yang telah diinvestasikan di SBN, PDIP minta lebih beragam, Fraksi Golkar minta 7%, Fraksi Nasdem 10%, Fraksi PKB 7,5%, Fraksi Demokrat dan Gerindra 10%.
Sementara itu, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sepakat degan usulan pemerintah di 15% dan 12% untuk WP yang investasikan hartanya di SBN. Lalu tarif 30% dan 20% untuk skema pengampunan pajak kedua.
Alhasil, dari total 9 Fraksi-Fraksi Panja RUU KUP, hanya Fraksi PKS yang menolak usulan tax amnesty atau Program Pengampunan Pajak, alasannya karena dapat mengurangi tingkat kepercayaan WP terhadap DJP.
Selanjutnya: BI pertahankan suku bunga acuan, saham emiten properti kompak menguat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News