Reporter: Ferry Saputra | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menggelontorkan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) terhadap pembelian kendaraan listrik roda empat dan bus. Insentif PPN DTP mulai berlaku masa pajak April 2023 sampai dengan masa pajak Desember 2023.
PPN DTP tersebut menambah sejumlah insentif yang ditawarkan pemerintah untuk mendorong pembelian kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Insentif yang ada tentu akan mendorong permintaan masyarakat. Alhasil, inden juga akan meningkat sehingga menyebabkan antrean pembelian.
Terkait hal itu, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) Kukuh Kumara menegaskan bahwa produsen siap untuk memproduksi kendaraan listrik. Bukan karena banyaknya antrean sehingga disebutkan bahwa produsen tidak siap.
Baca Juga: Ada Subsidi Motor Listrik, Ini Target Penjualan Gaya Abadi Sempurna (SLIS) pada 2023
Menurut dia, meski telah memprediksi daya beli masyarakat, para produsen juga telah menghitung stok yang ada.
"Satu, EV merupakan produk baru yang kami belum tahu berapa banyak yang mau beli, iya kan? Kalau produksi dibikin banyak, satu mobil paling mahal harganya hampir Rp 1 miliar dan yang terjangkau sekitar Rp 300 juta. Apabila yang memproduksi banyak, misal 1.000 unit, terus enggak ada yang beli? Lalu mau dikemanakan produk itu?" ucap dia kepada KONTAN.CO.ID, Senin (3/4).
Kukuh mengatakan mobil bukan barang yang bisa langsung disediakan banyak, kemudian ditumpuk. Ditambah, kalau telah diproduksi dan tidak laku semuanya dalam satu bulan, tentu akan mubazir.
"Prediksi harus dengan pertimbangan yang matang. Enggak bisa orang kayak bikin langsung ditumpuk itu enggak masalah, itu enggak bisa, ditumpuk pun perlu maintenance. Bisa saja catnya terkelupas kelamaan kena matahari, hujan, atau debu. Apalagi harganya mahal paling enggak Rp 200 juta ke atas," ujarnya.
Kukuh menegaskan stok kendaraan listrik ada, tetapi harus tetap memprediksi daya beli masyarakat pada waktu tertentu, misalnya dalam satu bulan. Dia menyampaikan jangan kemudian memberikan stempel produsennya enggak siap terhadap permintaan kendaraan listrik.
Misalnya, dalam satu bulan memproduksi 1.000 unit dalam 1 shift, tetapi permintaan ternyata lebih dari itu misal 2.000 unit, tentu harus dinaikkan menjadi 2 shift.
"Jadi, banyak cara harus dilihat, jangan sampai kemudian menumpuk. Kalau menumpuk, pengusaha enggak bisa melakukan itu. Jadi, harus dibahas perhitungan matang. Kami juga harus mempertimbangkan after sales-nya bagaimana? Teknisinya bagaimana?" kata dia.
Baca Juga: Volta Indonesia Siap Kerek Kapasitas Produksi Pasca Berlakunya Subsidi Motor Listrik
Kukuh menerangkan fenomena kendaraan listrik seperti saat ini tak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi di negara lain juga. Sementara itu, dia menyampaikan tak bisa memastikan permintaan tinggi sampai kapan waktu berakhirnya.
"Tergantung seberapa besar permintaannya, kan, belum tahu? Bukan karena produk baru, tetapi siapa yang sudah menaruh order, berapa banyak, sudah down payment, dan siapa yang membatalkan, kan, pasti ada? Datanya banyak sekali," ungkapnya.
Di sisi lain, Kukuh mengatakan investasi EV di kawasan Asean, Indonesia menjadi yang tertinggi bersama Vietnam dan Thailand. Dia menegaskan banyak juga investor yang melirik untuk berinvestasi di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News