Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Panas Bumi Indonesia menunggu peraturan turunan berupa Peraturan Menteri (Permen) sebagai petunjuk pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Prijandaru Effendi menyatakan, diikeluarkannya Perpres 112 pada dasarnya membantu percepatan energi terbarukan di mana panas bumi juga diakomodir di dalam beleid tersebut.
“Setelah Perpres keluar ada beberapa Peraturan Menteri sebagai petunjuk pelaksanaan dari Perpres tersebut,” jelasnya dalam webinar Diskusi Publik INDEF “Quo Vadis Panas Bumi Indonesia” Rabu (5/4).
Baca Juga: Pemerintah Lakukan Lelang 2 WK Panas Bumi, Siapa Saja Perusahaan yang Ikut?
Namun, Prijandaru mengemukakan, harga yang tertera di dalam Perpres 112 bukanlah harga yang diusulkan API dalam proposal. Menurutnya, pemerintah memiliki diskresi sendiri memutuskan harga yang tidak sesuai dengan yang diusulkan oleh asosiasi mewakili pengembang.
Meski demikian, di dalam Perpres 112 banyak janji-janji pemerintah yang akan memberikan insentif dan dituangkan dalam peraturan menteri tersendiri.
“Jadi sekarang apakah tarif itu menarik atau tidak saya tidak bisa menjawab kita menunggu lagi turunan dari Perpres ini yang harga dengan penggabungan insentif bisa jadi menjadi menarik,” ujarnya.
Prijandaru berharap, aturan turunan Perpres 112 bisa segera ada dan diterapkan sehingga pengembangan panas bumi bisa berjalan cepat sesuai harapan.
Dia menjelaskan, sejatinya ada dua hal yang menjadi tantangan besar dalam pengembangan panas bumi di Indonesia.
Pertama, keterjangkauan harga listrik yang erat kaitannya dengan kemampuan PLN membeli listrik yang dihasilkan oleh suatu proyek pembangkit PLTP. Dalam hal ini, PLN mewakili kemampuan beli masyarakat Indonesia.
Pemerintah mendukung keterjangkauan harga listrik karena negara wajib melistriki masyarakat dengan memastikan harga tersebut sesuai dengan kemampuan. Pasalnya, jangan sampai ada energi berlebihan tetapi masyarakat tidak bisa terlistriki karena tidak mampu membeli.
Tantangan kedua ialah aturan kebijakan. Prijandaru mengakui ada satu hal yang sangat memberatkan pelaku usaha panas bumi ialah kepastian pembelian listrik oleh PLN karena investasi pembangunan PLTP membutuhkan biaya yang sangat besar.
Dia memberikan gambaran, ada satu perusahaan melakukan eksplorasi di satu lapangan, big hole dengan 6 sumur. Biaya eksplorasi yang dihabiskan sekitar US$ 150 juta. Dengan uang sebesar itu tentu saja pelaku usaha menginginkan adanya kepastian pembelian oleh PLN di depan karena perusahaan listrik milik negara ini merupakan single buyer. Itupun harga listrik yang akan dibeli PLN mempertimbangkan keterjangkauan harga.
“Ini memberikan ketidakpastian bagi kita bila tidak mendapatkan Power Purchase Aggreement (PPA) di depan untuk komitmen investasi segitu besar. Ini yang memberatkan pengembangan diminita eksplorasi baru negosiasi PPA dengan PLN,” terangnya.
Baca Juga: Pemanfaatan Panas Bumi Sudah Capai 2.365 MW, Intip Prospeknya dalam Jangka Panjang
Di sisi lain, API meminta kehadiran pemerintah dalam memberikan tata waktu negosiasi business to business (B2B) tarif listrik dengan PLN. Selama ini, negosiasi panas bumi bisa sampai 2 tahun hingga 3 tahun lamanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan, biaya pengadaan listrik dari panas bumi di Indonesia masih relatif belum kompetitif dibandingkan dengan rata-rata pengadaan listrik nasional.
Menurut data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, rata-rata harga listrik panas bumi saat ini di atas US$ 10 sen per kiloWatt hour (KWh). Rata-rata harga listrik EBT non-panas bumi saat ini diinformasikan telah berada di bawah US$ 10 sen/KWh. Sebagai contoh harga listrik PLTA berada pada kisaran US$ 6 sen hingga US$ 7 sen/Kwh.
“Relatif mahalnya harga listrik panas bumi salah satunya karena tingginya risiko bisnis panas bumi pada tahap eksplorasi atau sebelum produksi. Adapun tahap eksplorasi ini menyumbang risiko hingga 50%,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Sedangkan jika dibandingkan harga listrik panas bumi global, harga listrik PLTP di Indonesia lebih mahal sekitar 69% hingga 83%. Hal ini disebabkan keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan panas bumi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News