kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.917   13,00   0,08%
  • IDX 7.199   58,54   0,82%
  • KOMPAS100 1.106   11,37   1,04%
  • LQ45 878   11,64   1,34%
  • ISSI 221   1,06   0,48%
  • IDX30 449   6,23   1,41%
  • IDXHIDIV20 540   5,82   1,09%
  • IDX80 127   1,42   1,13%
  • IDXV30 134   0,44   0,33%
  • IDXQ30 149   1,71   1,16%

Disidik Kejagung terkait dugaan korupsi, LPEI: Kami akan ikuti proses hukum


Jumat, 02 Juli 2021 / 08:30 WIB
Disidik Kejagung terkait dugaan korupsi, LPEI: Kami akan ikuti proses hukum

Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lonjakan kredit macet (NPL) Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tahun 2019 sebesar 23,39% telah menarik perhatian Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kejagung menilai, pembiayaan LPEI kepada sembilan debitur dilakukan tanpa prinsip tata kelola yang baik. Akibatnya, NPL meningkat dan perusahaan mencatatkan kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun.

Oleh sebab itu, penyidik Kejagung mulai melakukan penyidikan dugaan korupsi pada Juni lalu. Bahkan, mereka telah memeriksa pihak manajemen dan perusahaan terkait untuk mengungkap kasus tersebut.

Baca Juga: Ada PPKM darurat, jam operasional Bank Mandiri mulai pukul 09.00 hingga 15.00

Menanggapi hal itu, Corporate Secretary LPEI Agus Windiarto mengatakan, pihaknya akan mengikuti ketentuan yang berlaku dan akan bersikap kooperatif selama proses hukum berlangsung. "Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab LPEI dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance," kata Agus, Kamis (1/7). 

Selain itu, LPEI berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan dan meningkatkan kapasitas usaha untuk mendukung sektor usaha berorientasi ekspor sesuai dengan mandat

"Kami menghargai perhatian dan dukungan media kepada LPEI dalam menjalankan mandatnya dan membantu pemulihan ekonomi nasional. Demikian kami sampaikan, terima kasih atas dukungannya," tambahnya. 

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menyatakan, penyidik telah memeriksa enam orang saksi pada Rabu (30/6) kemarin. Mereka terdiri dari saksi berinisial AS, selaku mantan Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta. "Saksi AS diperiksa terkait pemberian fasilitas pembiayaan kepada PT KKT (PT Kemilau Kemas Timur)," terangnya. 

Kemudian saksi berinisial MS selaku Senior Manager Operation TNT Indonesia Head Office. Dia diperiksa terkait pengiriman SBW melalui TNT. Lalu saksi berinisial Ir. EW selaku Manager Operation Fedex/TNT Semarang. Saksi EW diperiksa terkait pengiriman SBW melalui TNT.

Baca Juga: BSI telah kucurkan pembiayaan sindikasi lebih dari Rp 9 triliun per Mei 2021

Selanjutnya, saksi berinisial FS selaku Kepala Divisi Usaha Kecil Menengah (UKM) LPEI tahun 2015. Saksi FS diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT JMI (PT Jasa Mulia Indonesia) dan PT MWI (PT Mulia Walet Indonesia).

Serta saksi berinisial DAP selaku Kepala Divisi Analisa Resiko Bisnis II pada LPEI. Ia diperiksa Kejagung terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT JMI. Juga saksi YTP selaku Kepala Divisi Restrukturisasi Aset II pada LPEI terkait penanganan debitur macet. 

Menurut Leonard, LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur dan pembiayaan kepada para debitur tersebut. 

Laporan sistem informasi manajemen resiko menyebut para debitur dalam posisi collectability 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019. LPEI diduga menyalurkan pembiayaan ekspor tanpa prinsip tata kelola yang baik sehingga NPL naik hingga 23,39% pada 2019. 

Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, Kejagung menduga LPEI mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp 4,7 triliun, lantaran adanya pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN).

Baca Juga: Walau hadapi pandemi, CAR Bank Mandiri kokoh 19,13% per 31 Mei 2021

Selanjutnya berdasarkan pernyataan dalam laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada keuntungan perusahaan ini. Kenaikan CKPN tersebut untuk menutupi potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalah, yang diantaranya disebabkan oleh 9 debitur tersebut.

Salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia (JMI), PT Mulia Walet Indonesia (WMI) dan PT Borneo Walet Indonesia dimana selaku Direktur Utama dari tiga perusahaan tersebut adalah seseorang berinisial S. 

Pihak LPEI yaitu tim pengusul, kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI. 

Akibat hal tersebut di atas menyebabkan debitur, yakni Group Wallet yaitu JMI, MWI dan PT Borneo Walet Indonesia, masuk katagori collectability 5 sehingga terjadi gagal bayar Rp 683,60 miliar. Jumlah itu terdiri dari nilai pokok pembiayaan sebesar Rp 576 miliar dengan denda dan bunga sebesar Rp 107,60 miliar

Selanjutnya: Bos BRI klaim penyaluran kredit ke sektor korporasi kurang dari Rp 200 triliun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×