Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan, ada sekitar Rp 1,69 triliun penyaluran insentif perpajakan belum dapat diyakini kewajarannya dan belum sesuai dengan ketentuan.
Dalam laporannya, BPK menyebut, dana tersebut merupakan insentif yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak (WP) dalam rangka penanggulangan pandemi virus corona.
Adapun tahun lalu, realisasi insentif perpajakan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 sebesar Rp 56,12 triliun atau telah terserap 46,53% dari total pagu sejumlah Rp 120,61 triliun. Artinya, dugaan BPK atas kejanggalan penyaluran tersebut setara dengan 3,01% dari realisasi insentif perpajakan tahun lalu.
Lebih lanjut, BPK RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 memerinci, setidaknya ada lima anomali penyaluran insentif perpajakan.
Pertama, terdapat pemberian insentif dan fasilitas perpajakan minimal sebesar Rp 251,59 miliar kepada WP yang tidak berhak atau masa pajak yang tidak tepat seharusnya diberikan. Selain itu, nilai insentif tidak dapat diyakini kewajarannya senilai Rp 103,7 miliar.
Baca Juga: Sebanyak 13 sektor industri juga minta harga gas murah ke pemerintah
Salah satu beduk permasalahannya yakni pemberian/persetujuan insentif perpajakan untuk pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dan angsuran PPh Pasal 25, yang disetujui Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), diberikan sebelum wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).
Kedua, terdapat proses verifikasi oleh Ditjen Pajak yang mengakibatkan kelebihan pencatatan penerimaan pajak dalam laporan keuangan. Dalam hal ini BPK menemukan terjadi duplikasi data pencairan PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) sebanyak 2.512 transaksi dengan nilai sebesar Rp 14,72 miliar.
Ada pula kasus atas pencairan insentif PPh Pasal 21 DTP dan PPh Final DTP masing-masing sebesar Rp 103,77 miliar dan Rp 1,72 miliar yang tidak dapat diyakini kewajarannya karena tanpa didukung atau nilainya melebihi laporan realisasi yang diajukan oleh WP.
Belum lagi soal fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) DTP sebesar Rp 8,48 miliar kepada pihak tertentu yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Ketiga, pengajuan kesesuaian pemberian insentif PPh Pasal 21 dan PPN DTP minimal sebesar Rp 431,14 miliar tidak dapat dilaksanakan secara lengkap. Sebab, BKP tidak dapat menguji kesesuaian kriteria masing-masing pegawai yang diajukan oleh WP pemberi kerja dengan kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait.
Keempat, sebanyak Rp 701,67 miliar atas kekurangan pembayaran pemberian insentif PPh Pasal 21 yang tidak sesuai dengan ketentuan. BKP menjelaskan, atas pegawai yang terkoreksi tersebut, otoritas pajak belum menindaklanjuti penagihan kekurangan pembayaran pajaknya karena korporasi terkait tidak memotong pajak dari pegawainya.
Kelima, nilai fasilitas pembebasan bea masuk untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 75,19 miliar berpotensi tidak akurat karena menggunakan harmonized system (HS) yang tidak sesuai dengan lampiran PMK Nomor 34/PMK.04/2020 dan perubahannya.
“Atas permasalah-permasalahan tersebut, BPK memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk perbaikan pengelolaan dan pertanggungjawaban APBN tahun mendatang untuk ditindaklanjuti,” kata Ketua BPK RI Agung Firman dalam Rapat Paripurna Bersama Pemerintah dan DPR RI, Selasa (22/6)
Baca Juga: Realisasi penerimaan pajak capai Rp 459,6 triliun hingga akhir Mei 2021
Adapun rekomendasi BPK kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati selaku wakil dari pemerintah agar memerintahkan Direktur Jenderal Pajak agar memperbaiki sistem pengajuan insentif WP pada situs resmi Ditjen Pajak online dalam hal mekanisme pengelolaan atau verifikasi laporan realisasi dan mekanisme pencairan insentif/fasilitas DTP.
Kemudian, menguji kembali kebenaran pengajuan insentif dan fasilitas yang telah diajukan WP dan disetujui. Lalu, menagih kekurangan pembayaran pajak beserta sanksinya untuk pemberian insentif/fasilitas yang tidak sesuai.
Sementara itu, untuk Direktur Jenderal Bea Cukai agar dapat memerintahkan kepada kantor pabean terkait melakukan penelitian mendalam dan/atau penelitian ulang serta audit kepabeanan atas 995 seri barang yang ditemukan janggal.
Terakhir, melakukan pembinaan melalui Program Pembinaan Keterampilan Pegawai (P2KP) bagi PPD agar lebih cermat dalam meneliti kode HS barang yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dengan ketentuan.
Selanjutnya: BPK: Utang pemerintah sudah kelewat batas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News