kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bisnis sewa perkantoran masih lesu, ini penyebabnya


Kamis, 09 September 2021 / 09:30 WIB
Bisnis sewa perkantoran masih lesu, ini penyebabnya

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pandemi Covid-19 yang belum usai kian memukul bisnis sewa perkantoran. Permintaan yang merosot seiring pembatasan Work From Office (WFO) semakin menekan industri ini, terlebih kini kelebihan pasokan (oversupply) juga mengintai.

Senior Director Office Services Colliers International Indonesia Bagus Adikusumo menyampaikan, kondisi bisnis sewa perkantoran semakin tertatih sejak pemberlakuan PPKM Darurat pada bulan Juli lalu. Kondisi ini memaksa dunia usaha menerapkan pola kerja jarak jauh (remote wokring), atau dengan pola hybrid dengan sebagian WFO dan Work From Home (WFH).

"Terhadap pengusaha gedung perkantoran atau landlord, saat ini posisinya sangat berat, karena kebutuhan terhadap ruangan kantor berkurang," kata Bagus saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (8/9).

Dengan terbiasanya dunia kerja menerapkan pola remote working atau hybrid, akhirnya banyak perusahaan yang mengurangi luas ruang kantor yang disewa. Bagus menaksir, pengurangan ruang sewa kantor tersebut berkisar di angka 10% sampai dengan 40%.

Alhasil, kondisi oversuplly ruang perkantoran yang sudah terasa sebelum pandemi, sekarang semakin lebar dengan merosotnya permintaan. Apalagi, dengan beberapa proyek gedung yang sedang konstruksi dan dalam tahap penyelesaian, supply perkantoran baru terutama di area Central Business Distric (CBD) masih akan mengalir di tahun 2022-2023.

Baca Juga: Kinerja bisnis di pusat perbelanjaan masih jauh dari kondisi normal

"Sementara permintaan kantor terbatas, karena pertumbuhan ekonomi juga masih berat. Supply terus bertambah, dan ruang eksisting yang seharusnya diambil oleh para penyewa, malah berkurang," imbuh Bagus.

Pasalnya, pertumbuhan ekonomi berkorelasi sangat erat terhadap pertumbuhan di industri properti, termasuk di bisnis sewa perkantoran ini. Semakin pertumbuhan ekonomi tergerus, maka permintaan sewa kantor akan sulit menanjak. Imbasnya, pemulihan (recovery) di bisnis sewa perkantoran masih membutuhkan waktu lebih panjang.

Bagus bilang, dengan kondisi ini para landlord harus atur strategi untuk bisa mempertahankan bisnisnya. Terutama dengan fleksibilitas syarat dan ketentuan (term and condition) sewa yang lebih akomodatif terhadap penyewa (tenant) untuk menarik tenant-tenant baru atau mempertahankan kontrak sewa dari tenant-tenant lama.

"Dalam arti begini, misalnya ada tenant yang membutuhkan bantuan dalam hal harga sewa, payment dan commercial term-condition untuk perjanjian sewanya, itu perlu fleksibilitas. Supaya tenant bisa bertahan di bisnisnya, dan tetap sewa," terang Bagus.

Adapun, dalam survei kondisi pasokan perkantoran periode kuartal kedua yang dipaparkan oleh Colliers pada 7 Juli 2021 lalu, disampaikan bahwa untuk pertama kalinya tingkat hunian perkantoran di area CBD kawasan Jakarta berada di bawah 80%. 

Tingkat hunian perkantoran di CBD tercatat 79,2%, atau turun 1,1% secara kuartalan (QoQ) dan di luar CBD sebanyak 78,4% (turun 1,2% QoQ). Pasokan baru diproyeksikan akan terus menekan rata-rata tingkat hunian sebesar 2%-2,5% hingga akhir tahun 2021.

Mengenai harga sewa, Colliers belum memaparkan kondisi terbaru untuk kuartal ketiga. Seperti diketahui, pada bulan Juli pemerintah memberlakukan PPKM darurat, yang berlanjut pada PPKM level. Kebijakan ini kembali memperketat WFO di perkantoran.

Meski belum ada perkiraan rata-rata penurunan harga sewa, namun Bagus memberikan gambaran mengenai selisih antara harga sewa dasar (asking rent) yang ditawarkan pengelola perkantoran, dengan harga aktual (actual rent) yang disepakati saat transaksi. 

Saat ini, selisih antara asking rent dan actual rent bisa mencapai 20%-45%. Misalnya, jika asking rent yang ditawarkan di awal sebesar Rp 300.000, maka actual rent yang disepakati bisa hanya Rp 180.000. Padahal, pada saat sebelum pandemi, selisih asking rent dan actual rent hanya berkisar 5%-20% saja.

Baca Juga: Bisnis kafe dan restoran baru menyentuh 30%-40% dari kondisi normal

Adapun selisih antara asking rent dan actual rent ini mempertimbangkan kondisi pasar, luasan ruang kantor yang disewakan, serta tingkat hunian (okupansi) gedung. Makin tinggi okupansi gedung, maka selisih bisa semakin ditekan, begitu sebaliknya.

Misalnya, untuk okupansi gedung 80%, maka selisih antara asking rent dan actual rent bisa ditekan hingga 10%. Namun jika okupansi kantor masih di bawah 50%, maka selisihnya bisa mencapai 40%.

"Kalau sebelum pandemi, gap-nya rendah karena meski sudah oversupply tapi bisnis dan ekonomi tetap tumbuh, sehingga landlord tidak bersedia menurunkan terlalu drastis antara asking rent dan actual rent-nya. Kalau sekarang, asking rent-nya pun sudah disesuaikan, karena percuma juga kalau tak tercapai dan gap dengan actual rent terlalu tinggi," terang Bagus.

Dengan tekanan bisnis ini, apakah banyak landlord yang menjual perkantorannya? Menurut Bagus, dalam empat bulan terakhir memang santer kabar ada beberapa landlord yang ingin menjual perkantorannya.

Namun, Bagus menekankan bahwa penjualan ruang perkantoran terbilang belum marak, hanya terbatas pada pengusaha yang membutuhkan dana untuk menjaga cash flow.

"Perusahaan yang sedang butuh itu menjual space di strata title-nya, jadi bukan menjual satu gedung. Menjualnya dengan harga pasar, tapi transaksinya masih terbatas, karena harga pasar sekarang sedang terkoreksi," jelas Bagus.

Untuk landlord yang masih bertahan, Bagus menilai bahwa hal itu karena sewa perkantoran merupakan bisnis inti mereka, disamping sebagai aset dan sumber recurring income yang menjanjikan.

Oleh sebab itu, meski menghadapi sejumlah tantangan seperti kondisi oversupply dan adanya tren remote working, namun Bagus melihat bisnis sewa perkantoran masih cukup prospektif untuk beberapa tahun ke depan.

Ketika pandemi Covid-19 sudah terkendali, dan ekonomi kembali tumbuh 5% ke atas, dia meyakini akan ada ekuilibrium baru.

"Karena bagaimana pun kita makhluk sosial, setelah pandemi, pasti akan kembali ke kantor lagi. Nanti ada ekuilibrium baru dengan pertumbuhan ekonomi, supply dan demand, serta sentuhan teknologi digital untuk mengadaptasi remote working," pungkas Bagus.

Baca Juga: Potensi pasar KPR dan bisnis properti di tahun ini masih besar

Dihubungi terpisah, emiten pengembang properti dan pusat perbelanjaan di Pondok Indah, PT Metropolitan Kentjana Tbk (MKPI) juga masih melihat peluang di segmen bisnis sewa perkantoran.

Wakil Direktur Utama MKPI Jeffry S. Tanuwidjaja mengungkapkan, saat ini MKPI memiliki 4 tower, dengan kontribusi sewa kantor terhadap pendapatan mencapai 15% sebelum pandemi Covid-19.

"Untuk tingkat okupansi perkantoran masih belum berubah banyak. Memang ada tenant yang keluar, pindah ke tempat yang lebih murah atau karena bisnisnya tidak bisa bertahan. Namun juga ada eksisting tenant yang memperluas areanya. Sedangkan untuk tenan baru, saat ini masih sedikit," terang Jeffry kepada Kontan.co.id, Rabu (8/9).

 

Selanjutnya: Dolar AS kembali jadi incaran, rupiah berpotensi kembali melemah besok (9/9)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×