Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) secara bertahap berpotensi menimbulkan biaya kompensasi atas kontrak yang masih berlangsung.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan kontrak-kontrak pembangkit listrik secara umum bersifat jangka panjang. Rencana early retirement untuk PLTU tentunya bakal berdampak pada kontrak pembangkit yang ada.
"Makanya kita harus berhati-hati, kalau kita katakan dilakukan early retirement, dihentikan lebih cepat dari masa kontrak yang ada maka harus ada kompensasi," kata Suahasil dalam Webinar Kompas Talks Bersama PLN, Kamis (21/10).
Kebutuhan dana tak hanya datang dari besaran kompensasi yang harus ditanggung, rencana mengganti PLTU dengan pembangkit EBT pun dinilai bakal menambah kebutuhan investasi. Suahasil memastikan, kebutuhan pendanaan untuk kompensasi dan penggantian pembangkit PLTU dengan EBT ini menjadi dasar pemerintah mengembangkan program Energy Transition Mechanism (ETM).
Baca Juga: Hingga kuartal III 2021, realisasi TKDN proyek kelistrikan PLN capai Rp 35,32 triliun
"Ada hitung-hitungan bisnis, berapa yang ditanggung APBN, berapa yang dibantu uang internasional," jelas Suahasil.
Selain skema ETM, Suahasil memastikan upaya mendorong EBT ke depannya juga bakal ditopang pendanaan dari pajak karbon dan pajak atas karbon yang bakal diterapkan di 2022 mendatang.
Tenaga Fungsional Peneliti Ahli Madya Badan kebijakan FIskal (BKF) Joko Tri Haryanto mengungkapkan, saat ini pemerintah masih menyiapkan skema ETM dan diharapkan dapat segera dilaunching dalam waktu dekat.
"ETM itu nanti juga mekanismenya adalah blended finance, jadi bagaimana proses penggantian PLTU PLN itu nanti tidak sepenuhnya menggunakan dana APBN tapi kita blended di dalam skema ETM," kata Joko.
Joko melanjutkan, ada sejumlah tahapan yang bakal dilakukan yakni PLTU-PLTU milik PLN dan Independent Power Producer (IPP) yang masuk dalam rencana early retirement akan diikutsertakan dalam skema cap and trade emission. Regulasi emission trading ini sendiri nantinya akan termuat dalam Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Lalu, pada 2022 nanti sejumlah PLTU bakal diikutsertakan dalam skema carbon tax dan carbon trade. "Nanti ada kerangka blended finance di dalam ETM yang mereka akan memanfaatkan dana-dana carbon reduction fund (CDF) sebagai mekanisme untuk membeli aset PLTU baik tunai maupun secara equity," terang Joko.
Joko mengungkapkan, saat ini skemanya telah disiapkan dimana pemerintah bekerjasama dengan mitra pembangunan untuk mengatur agenda ETM. Dananya pun akan bersifat kolaborasi dikelola dengan beberapa opsi antara lain melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) atau Indonesia Investmenet Authority (INA).
Sayangnya, Joko belum bisa merinci lebih jauh besaran dana yang harus ditanggung dari kompensasi jika PLTU-PLTU dipensiunkan lebih awal dari masa kontrak. Yang terang, kebutuhan kompensasi diarahkan agar tidak membebani APBN.
"Disisi lain punya voice yang baik terhadap kebutuhan investasi. Jadi bagaimana menciptakan balancing yang baik, juga jangan sampai semua mekanisme pendanaan hanya bebankan APBN," ujar Joko.
Baca Juga: SKK Migas prediksi terjadi selisih kurang pasok untuk gas pipa di kuartal IV 2021
Joko pun memastikan, peran pemerintah dalam skema ETM ini nanti tidak serta merta memberikan uang cash dalam bentuk APBN, melainkan bisa juga melalui skema pemberian insentif untuk program-program yang ada. Sementara itu, Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan, ada liabilitas yang harus ditanggung dari rencana menghentikan operasi PLTU.
Darmawan menjelaskan, hingga 2028 ada rencana mempensiunkan 5,4 GW PLTU yang membuat ada potensi penambahan kompensasi sekitar US$ 3,8 miliar. PLN pun saat ini masih mengacu pada skema natural early retirement dimana PLTU yang bakal dipensiunkan yakni PLTU yang masa keekonomiannya sudah habis.
Opsi lain untuk mempercepat early retirement yakni dengan mendorong akuisisi aset PLTU PLN oleh pihak ketiga dengan skema ETM. "Apa bisa kita berpikir cerdas agar ada early retirement? Jawabannya bisa, yaitu gunakan ETM yaitu PLTU yang dimiliki PLN sekarang misalnya usia sampai 2044 apa mungkin diakuisisi pihak ketiga dengan green finance," kata Darmawan.
Kendati demikian, Darmawan mengungkapkan skema ini berpotensi menambah kenaikan biaya yang harus ditanggung dari APBN. Darmawan pun memastikan, PLN berkomitmen penuh mengejar target emisi dan mendorong akselerasi pembangkit EBT ke depannya. Untuk saat ini, PLN diakui masih meramu cara terbaik untuk program early retirement PLTU yang ada.
"Kita masih berusaha bernavigasi agar early retirement PLTU kita adalah soft, bukan all of a sudden. Kita harus lakukan planning yang sangat holistik dan intelligent," imbuh Darmawan.
Selanjutnya: Tumpang tindih regulasi hambat investasi kelistrikan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News