Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembangunan smelter tembaga baru di Indonesia masih menjadi sorotan. Selain ada tarik ulur soal lokasi, keekonomian, dan kapasitas, jadwal pengoperasian smelter terancam mundur lantaran pengerjaan proyek terhambat pandemi covid-19.
Proyek smelter tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI) bahkan memunculkan sejumlah opsi. Paling tidak ada dua opsi utama yang sedang dinegosiasikan PTFI bersama pemerintah.
Pertama, memangkas kapasitas smelter tembaga baru PTFI yang rencananya berlokasi di JIIPE, Gresik, Jawa Timur, dari semula 2 juta ton konsentrat menjadi 1,7 juta ton. Sebagai ganti pemangkasan itu, PTFI akan meningkatkan kapasitas smelter eksisting di PT Smelting sebanyak 300.000 ton. Sehingga, total tambahan kapasitas tetap 2 juta ton, untuk menampung konsentrat tembaga PTFI agar bisa diolah di dalam negeri.
Kedua, dengan membangun smelter baru di Weda Bay bersama Tsingshan. Seperti diketahui, Weda Bay saat ini merupakan kawasan smelter nikel terintegrasi. Jika opsi ini yang dipilih, maka perusahaan asal China kian mengukuhkan dominasinya dalam hilirisasi tambang di Indonesia, menyusul smelter yang marak di komoditas nikel dan bauksit.
Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) pun buka suara terkait hal tersebut. Pelaksana Harian Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno menilai, tidak masalah opsi mana saja yang akan disepakati dan disetujui oleh pemerintah.
Baca Juga: Soal smelter tembaga di Weda Bay, DPR tunggu kesepakatan Freeport dan Tsingshan
Yang terpenting, kewajiban hilirisasi sesuai UU Minerba bisa terlaksana. Namun Djoko menyoroti, jika jadi bekerjasama dengan Tsingshan, maka Freeport bisa mengatasi masalah keekonomian yang sering didengungkan. Selain itu, jika terintegrasi dengan hilirisasi nikel dalam produk turunannya, maka pembangunan industri logam dasar di dalam negeri bisa terakselerasi. Alhasil, pendapatan negara bisa meningkat.
"Harapannya adalah industri (logam) dasar di Indonesia segera dapat dimulai dengan memakai logam yang berasal dari dalam negeri. Sehingga seluruh konsentrat dapat diolah di Indonesia, dimana nilai tambahnya lebih memberikan manfaat," kata Djoko kepada Kontan.co.id, Rabu (2/12).
Adapun terkait dengan dominasi China di sektor hilirisasi mineral, Djoko menilai bahwa kondisi itu tak menjadi soal selama aturan dijalankan secara tegas dan transparan. "Persiapkan peratuan yang transparan, akuntable, sehingga (dampak negatif) dapat dihindarkan. Perkara sentimen positif atau negatif, kita evaluasi lagi," sambung Djoko.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso tak sependapat jika pembangunan smelter tembaga baru PTFI berlokasi di Weda Bay, Halmahera. Menurutnya, lokasi paling ideal untuk membangun smelter adalah didekat PT Smelting sebagai smelter eksisting.
Prihadi tetap mengusulkan agar smelter tembaga baru PTFI bisa berlokasi di kawasan Petrokimia, Gresik, Jawa Timur. Dengan begitu, pengoperasian smelter bisa lebih terintegrasi. Di samping itu, secara keekonomian bisa menekan biaya lantara infrastruktur dasar yang sudah tersedia.
"Sehingga kemanfaatannya bisa optimal. Pemilihan lokasi 1,7 juta ton (smelter baru) kalau tidak diperhitungkan dengan cermat bisa membawa petaka. Lebih efisien lagi jika 1,7 juta ton (dibangun) di lahan Petrokimia, karena lahan dan infrastruktur 60% sudah siap," sebut Prihadi.
Selain PTFI, perusahaan lain yang tengah membangun smelter tembaga adalah PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Mengutip catatan Kontan.co.id, berdasarkan hasil verifikasi kemajuan fisik 6 bulanan yang berlangsung dari Februari sampai Juli 2020, kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian konsentrat tembaga menjadi logam tembaga AMNT telah mencapai 25,546% dari rencana awal sebesar 26,893%.
Di periode yang sama, kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian lumpur anoda menjadi precious metal AMNT telah mencapai 27% dari rencana awal sebesar 28,199%. Head of Corporate Communication Amman Mineral Nusa Tenggara Kartika Oktaviana menyebut, pihak Amman Mineral hingga kini masih menunggu arahan Kementerian ESDM terkait permohonan penundaan penyelesaian proyek smelter selama 12 bulan—18 bulan dari target awal yang ditetapkan pemerintah.
Jika jadi ditunda, maka proyek smelter ini akan mundur dari 2022 menjadi tahun 2023 mendatang. Ketika beroperasi, smelter tersebut akan memiliki kapasitas input sebesar 1 juta ton dan dapat ditingkatkan hingga 1,6 juta ton atau 2 juta ton per tahun.
Mengenai smelter tembaga Amman Mineral, Prihadi Santoso mengusulkan agar bisa melakukan kerjasama. Usulan Prihadi, Amman bisa menggandeng mitra perusahaan tambang dalam negeri. "Sebaiknya Amman buat kaji ulang, merintis kerjasama, misalnya dengan Medeka Smelter di NTT. Untuk keekonomian bisa lebih baik, dan efisiensi pemakaian SDA negara," sebut Prihadi.
Sedangkan menurut Djoko Widajatno, penyelesaian smelter Amman Mineral bisa jadi akan mundur dari target lantaran covid-19. "IMA akan membantu Amman sesuai tupoksi (tugas, pokok dan fungsi). Juga menjembatani penyelesaian permasalahan akibat peraturan yang ada di Anggota IMA," pungkas Djoko.
Selanjutnya: Freeport Indonesia Pastikan Tetap Laksanakan Proyek Smelter di Gresik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News