Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan kebijakan penghentian impor solar oleh badan usaha (BU) swasta pengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) akan berlaku penuh mulai April 2026.
Mulai periode tersebut, seluruh kebutuhan solar nasional, termasuk untuk SPBU swasta, wajib dipenuhi dari produksi kilang minyak dalam negeri atau melalui PT Pertamina (Persero).
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menjelaskan, kapasitas kilang minyak nasional saat ini mencapai sekitar 1,18 juta barel per hari (bph), sementara kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional berada di kisaran 1,6 juta bph. Selisih kebutuhan tersebut selama ini masih dipenuhi melalui impor.
“Kapasitas kilang nasional tersebar di beberapa fasilitas, antara lain Kilang Cilacap 348.000 bph, RDMP Balikpapan 360.000 bph, Kilang Dumai 170.000 bph, Balongan 125.000 bph, Plaju 134.000 bph, serta Kilang Kasim di Sorong 10.000 bph,” ujar Yuliot kepada Kontan.co.id, Minggu (28/12/2025).
Menurutnya, seluruh kilang tersebut dapat disesuaikan pengaturan produksinya (setting) berdasarkan kebutuhan nasional.
“Keseluruhan kilang bisa di-setting produksinya sesuai kebutuhan. Diharapkan kebutuhan solar dan avtur dapat terpenuhi dari kilang domestik,” tegas Yuliot.
Sejalan dengan kebijakan tersebut, PT Pertamina menyatakan kesiapan mendukung kebijakan pemerintah. Pjs Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Milla Suciyani menegaskan, Pertamina siap menyesuaikan produksi solar sesuai kebutuhan nasional.
Baca Juga: TMII Ubah Wajah Nataru: Dari Pesta Meriah ke Perayaan Penuh Arti
“Produksi solar dapat kami sesuaikan dengan kebutuhan,” ujarnya.
Namun demikian, kebijakan penghentian impor solar ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha SPBU swasta. Praktisi industri migas sekaligus Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo menilai, kebijakan tersebut berpotensi mempersempit ruang gerak BU swasta di sektor hilir migas.
“Terus terang kami prihatin karena ruang gerak SPBU swasta semakin terbatas. Padahal Indonesia menganut sistem terbuka. Dalam Perpres Nomor 96 Tahun 2024, konsep penyangga energi nasional juga melibatkan peran swasta,” kata Hadi.
Ia menilai kebijakan ini berpotensi menciptakan kesan bahwa sumber pasokan BBM hanya berasal dari satu pintu, yakni Pertamina. Dari sisi kapasitas, Hadi mengakui kilang nasional pasca rampungnya RDMP Balikpapan mendekati 1,2 juta bph dan secara kuantitas dinilai mencukupi.
Selain itu, keberlanjutan program mandatori biodiesel B40 yang berlanjut ke B50 diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan biodiesel nasional sekitar 16 juta kiloliter (KL) pada 2026.
Meski demikian, Hadi mengingatkan bahwa kecukupan kapasitas belum tentu sejalan dengan kesesuaian spesifikasi dan mutu produk bagi kebutuhan SPBU swasta.
“Cukup dari sisi kapasitas, tetapi belum tentu dari sisi spesifikasi dan mutu sesuai kebutuhan SPBU swasta,” ujarnya.
Ia juga menilai kebijakan yang terlalu membatasi peran swasta berpotensi kontraproduktif terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% pada akhir masa jabatan Presiden pada 2029, yang membutuhkan investasi dalam jumlah besar.
Tonton: Bahlil Ingatkan SPBU Swasta untuk Patuhi Aturan Impor BBM
“Jika kebijakan mengarah ke monopoli halus, itu tidak sehat bagi persaingan usaha dan iklim investasi,” tegas Hadi.
Dari sisi pasokan, pengamat ekonomi energi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti menyebut asumsi utama kebijakan ini sangat bergantung pada keberhasilan RDMP Balikpapan dan pencapaian target mandatori biodiesel.
Jika RDMP berjalan sesuai rencana, target biodiesel FAME B50 sebesar 18 juta KL tercapai, dan produksi solar domestik mencapai 24,5 juta KL, Indonesia berpotensi mengalami surplus solar.
“Dengan proyeksi konsumsi diesel sekitar 41,5 juta KL, potensi kelebihan pasokan bisa terjadi. Padahal pada 2025 saja impor solar masih sekitar 6,08 juta KL,” ujar Yayan.
Namun, Yayan mengingatkan bahwa apabila target-target tersebut tidak tercapai, impor solar justru berpotensi tetap tinggi. Ia memperkirakan impor solar pada 2026 masih berada di kisaran 6,1 juta–6,2 juta KL, sejalan dengan tren impor sejak 2022.
Menurutnya, kunci keberhasilan kebijakan ini terletak pada kesiapan kilang dan kemampuan blending biodiesel. Hingga kini, insentif harga bagi konsumen biodiesel masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
“Idealnya harga biodiesel bisa lebih kompetitif, misalnya 5% lebih murah dari BBM fosil. Saat ini harga FAME masih relatif mahal sehingga kebijakan ini belum sepenuhnya ekonomis,” jelasnya.
Ia menambahkan, pemerintah sebaiknya tetap memberi ruang bagi swasta di sektor hilir guna menciptakan efisiensi dan benchmark harga.
“Bukan liberalisasi, tetapi memberi ruang persaingan agar Pertamina juga terdorong lebih efisien. Ini sejalan dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 7 dan 8 tentang kegiatan usaha hilir,” pungkas Yayan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Laode Sulaeman menegaskan bahwa penghentian impor solar oleh BU swasta akan diberlakukan penuh mulai April 2026.
Menurutnya, Pertamina dan RDMP membutuhkan masa persiapan sekitar tiga bulan untuk memastikan kecukupan stok. Kementerian ESDM juga telah mengirimkan surat kepada BU swasta agar segera berkoordinasi dengan Pertamina terkait pengaturan alokasi solar domestik serta pencatatan kebutuhan dalam Sistem Informasi Neraca Komoditas Nasional (SINAS-NK).
Kebijakan ini didorong oleh proyeksi surplus solar hingga 4 juta KL pada 2026, seiring implementasi mandatori biodiesel B50 dan tambahan kapasitas dari RDMP Balikpapan yang meningkatkan kapasitas pengolahan sebesar 100.000 bph menjadi 360.000 bph.
Kesimpulan
Penghentian impor solar oleh SPBU swasta mulai April 2026 menandai pergeseran besar kebijakan energi nasional menuju ketergantungan penuh pada pasokan domestik dan Pertamina, dengan asumsi kapasitas kilang dan mandatori biodiesel B50 berjalan sesuai rencana. Meski secara kuantitas pasokan dinilai mendekati cukup, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran penyempitan ruang gerak swasta, potensi persaingan yang timpang, serta risiko ketidaksesuaian spesifikasi dan harga solar bagi SPBU non-Pertamina. Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kesiapan RDMP Balikpapan, efektivitas blending biodiesel, dan desain insentif harga, tanpa itu target kemandirian energi justru berisiko berubah menjadi bottleneck baru bagi iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya: TMII Ubah Wajah Nataru: Dari Pesta Meriah ke Perayaan Penuh Arti
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













