kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Apa Itu Resesi Seks yang Kini Jadi Fenomena di Jepang dan Korea Selatan?


Selasa, 29 November 2022 / 11:13 WIB
Apa Itu Resesi Seks yang Kini Jadi Fenomena di Jepang dan Korea Selatan?
ILUSTRASI. Resesi seks melanda Jepang dan Korea Selatan terjadi seiring adanya perubahan gaya hidup. REUTERS/Issei Kato

Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

“Tetapi ketika saya melihat kakak perempuan tertua saya, yang memiliki anak perempuan berusia dua tahun, saya takut memiliki anak. Kalau punya anak di Jepang, suami tetap bekerja tapi ibu diharapkan berhenti dari pekerjaannya dan menjaga anak," jelas Iwai. 

Iwai juga merasa kesulitan untuk membesarkan anak, secara finansial, mental dan fisik. Meski pemerintah mengatakan akan memberikan dukungan yang lebih baik untuk keluarga dengan anak kecil, tetapi dia tidak terlalu percaya pada janji politisi.

Menurut Yuka Minagawa, seorang profesor di Universitas Sophia di Tokyo, tingkat kesuburan yang rendah sebagian merupakan gejala dari kemajuan yang dicapai wanita Jepang dalam beberapa tahun terakhir.

Pencapaian pendidikan yang lebih baik dan peningkatan jumlah perempuan di tempat kerja berarti mereka menikah, dan memiliki anak, jauh lebih lambat dari ibu dan nenek mereka.

“Faktor yang mungkin menyebabkan keengganan wanita Jepang untuk menikah adalah meningkatnya biaya pernikahan,” tulis Naohiro Yashiro, seorang profesor di Showa Women’s University, dalam esai baru-baru ini untuk situs Forum Asia Timur.

“Dengan pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak perempuan muda yang memiliki upah yang sama dengan laki-laki, sehingga rata-rata masa pencarian pasangan mereka lebih lama. Saat ini, rata-rata usia perkawinan pertama bagi perempuan adalah 29 tahun, jauh melampaui 25 tahun pada 1980-an – ketika sebagian besar perempuan hanya lulusan SMA.”

Baca Juga: China Akan Bebaskan Puluhan Utang dari 17 Negara Afrika

Meski pemerintah Jepang pada bulan lalu mengumumkan peningkatan dukungan finansial sebelum dan sesudah melahirkan, namun pemerintah belum mengatasi tekanan jangka panjang pada tingkat kelahiran. Sebut saja seperti biaya penitipan anak prasekolah dan pendidikan wajib, serta meningkatnya biaya hidup. 

“Jepang bukanlah tempat di mana sembarang orang dapat memiliki satu anak atau lebih,” kata Minagawa.

Dia menambahkan bahwa banyak ibu berjuang untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. 

“Wanita terus mengambil bagian terbesar dari pekerjaan rumah tangga, meskipun mereka juga bekerja di luar rumah.”



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

×