kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apa Itu Resesi Seks yang Kini Jadi Fenomena di Jepang dan Korea Selatan?


Selasa, 29 November 2022 / 11:13 WIB
Apa Itu Resesi Seks yang Kini Jadi Fenomena di Jepang dan Korea Selatan?
ILUSTRASI. Resesi seks melanda Jepang dan Korea Selatan terjadi seiring adanya perubahan gaya hidup. REUTERS/Issei Kato

Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Resesi seks melanda Jepang dan Korea Selatan seiring adanya perubahan gaya hidup. 

Melansir Daily Star, di tahun 2020-an, kebebasan seksual saat ini menjadi hal yang tidak terbayangkan oleh orang-orang 100 tahun yang lalu.

Namun, yang mengejutkan, semakin banyak orang yang berpaling dari seks.

Resesi seks ini menjadi fenomena dunia. Akan tetapi Jepang, secara khusus, tampaknya menunjukkan jalan menuju masa depan tanpa seks.

Data yang dihimpun Daily Star pada Januari 2000 menunjukkan, 10% pria Jepang masih perjaka di usia 30-an. Runtuhnya dorongan seks di negara itu juga berdampak pada angka kelahiran, dengan anak menjadi semakin langka.

Tidak ada yang yakin mengapa Jepang memimpin dunia dalam tren yang mengkhawatirkan ini. Jam kerja yang panjang terkadang disalahkan. Pun demikian dengan meningkatnya popularitas internet.

Banyak komentator menunjuk munculnya robot sebagai penyebab. Orang Jepang adalah produsen robot terbesar di dunia, dan pengguna robot terbesar di dunia.

Dengan 300 robot untuk setiap 10.000 orang, orang Jepang semakin nyaman bekerja bersama robot dan relaksasi menyebar dari tempat kerja. Robot seks, mitra holografik, dan pendamping digital lebih populer di Jepang daripada di wilayah lain mana pun.

Kini, Jepang mengalami krisis populasi muda. Mengutip The Guardian, lingkungan Sugamo di Tokyo telah lama menjadi kiblat bagi anggota populasi ibu kota yang lebih tua. Tetapi demografi miring Jepang menunjukkan bahwa, dalam beberapa dekade mendatang, kota semacam ini akan terus bermunculan. 

Baca Juga: Ini Bujuk Rayu China kepada Warganya Agar Mau Punya Anak Banyak

Ini adalah gambaran sekilas masa depan Jepang di mana banyak populasi orang tua dan berpenduduk lebih sedikit. Dampaknya tidak main-main, yakni tenaga kerja yang berkurang dan ekonomi yang menyusut.

Populasi Jepang yang merupakan ekonomi terbesar ketiga di dunia, telah menurun selama beberapa tahun dan mengalami rekor penurunan 644.000 pada 2020-21, menurut data pemerintah. Diperkirakan, jumlah populasi akan semakin anjlok dari posisi saat ini 125 juta menjadi sekitar 88 juta pada tahun 2065. Itu artinya terjadi penurunan sebesar 30% dalam 45 tahun.

Saat jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun terus bertambah – kini jumlahnya mencapai lebih dari 28% populasi – angka kelahiran tetap sangat rendah. 

Seorang wanita Jepang dapat berharap memiliki rata-rata 1,3 anak selama hidupnya – jauh di bawah 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran populasi saat ini.

Dorongan resmi untuk memiliki lebih banyak anak dan peringatan bahwa penurunan populasi dalam jangka panjang akan merusak kesehatan ekonomi, tidak banyak berpengaruh.

Pada tahun 2021, jumlah kelahiran di Jepang mencapai 811.604. Ini merupakan level terendah sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada tahun 1899. 

Baca Juga: Program Bayi Tabung Klinik Blastula IVF Berhasil Hadirkan Bayi ke-100

Seperti rekan-rekan mereka di negara tetangga Korea Selatan, wanita Jepang semakin enggan untuk menikah dan memiliki anak – terhalang oleh tekanan keuangan dan peran gender tradisional yang memaksa banyak orang untuk berhenti bekerja begitu mereka hamil dan memikul beban pekerjaan rumah tangga dan tugas mengasuh anak. 

“Dulu saya berpikir saya akan menikah pada usia 25 tahun dan seorang ibu pada usia 27 tahun,” kata Nao Iwai, seorang mahasiswa di Tokyo. 



TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

×