kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

AFPI menilai perlunya regulasi berbentuk undang-undang terkait fintech


Jumat, 15 Januari 2021 / 11:05 WIB
AFPI menilai perlunya regulasi berbentuk undang-undang terkait fintech

Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menilai perlunya regulasi berbentuk undang-undang (UU) terkait fintech untuk mendukung pertumbuhan industri agar mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Salah satunya yang mengatur bahwa hanya fintech lending berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dapat beroperasi dan menutup akses pinjaman online atau fintech illegal beroperasi.

Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko meminta kepada Komisi XI DPR RI untuk mempertimbangkan payung hukum dengan UU tersendiri. Ia bilang bila sulit dengan UU fintech, bisa juga menyisipkan di Omnibuslaw.

“Kami hanya ingin ada peraturan yang mengatur bahwa hanya fintech berizin yang boleh beroperasi. Anggota kami yang masih berstatus terdaftar, agar segera mengurus proses perizinan OJK. Hal ini agar tidak ada celah bagi pihak pinjol atau fintech illegal bermain, jika tetap beroperasi, pinjol illegal ini melakukan tindak pidana,” ujar Sunu saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ri pada Kamis (14/1).

Lanjtunya, saat ini AFPI mengidentifikasi bahwa pinjol atau fintech ilegal dengan berbagai karakteristiknya ini merugikan industri dan masyarakat. Ia bilang pinjol ilegal ini tidak terdaftar dan tidak diawasi OJK dengan bunga atau biaya pinjaman yang tak terbatas.

Baca Juga: Ini batas maksimal restrukturisasi pinjaman P2P lending yang terdampak Covid-19

Sunu menjelaskan AFPI terus berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk Google untuk menutup akses pinjol illegal. Namun Google butuh dasar hukumnya. “Itulah sebabnya kita butuh regulasi berbentuk UU untuk mengatur industri fintech. Saat ini yang menjadi tantangan bersama industri adalah mengedukasi dan sosialisasi ke masyarakat untuk berhati-hati akan keberadaan Pinjol atau fintech illegal,” kata Sunu.

Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah mengatakan ditengah pembiayaan fintech pendanaan terus ditingkatkan, AFPI tetap mendorong semua fintech pendanaan untuk menjaga kestabilan tingkat kredit bermasalah (NPL) atau tingkat wanprestasi pengembalian (TWP), meskipun ada tren meningkat akibat pandemi.

Pembiayaan fintech pendanaan juga sudah mulai kembali ke kondisi semula sebelum pandemi. Apalagi pada kuartal IV-2020 pencairan pendanaan sudah pada kondisi tertinggi sepanjang fintech pendanaan beroperasi selama 4 tahun.

Penyelenggara fintech pendanaan mengadopsi sistem credit scoring yang disesuaikan dengan performa UMKM saat ini. Credit scoring fintech pendanaan bergerak dinamis menyesuaikan profil peminjam (sebagian besar pelaku UMKM) dan pendana terkini.

Sehingga TWP 90 hari di industri fintech P2P semakin membaik. Selain itu optimalisasi Fintech Data Center (FDC) sebagai bentuk mitigasi risiko dan menjaga segmen pasar yang stabil merupakan upaya untuk menjaga TWP atau NPL stabil.

“AFPI terus menujukkan wujud tindakan nyata dalam usahanya untuk menciptakan iklim Industri yang kondusif, berkembang, berkelanjutan dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.  Selain terus mendampingi para anggota, berkoordinasi dengan regulator yakni OJK, AFPI telah melakukan training dan sertifikasi kepada Pemegang Saham, Direksi, Komisaris serta sertifikasi yang lain untuk mendukung kepatuhan industri,” kata Kusersyansyah.

Hingga Desember 2020, terdapat 149 perusahaan yang terdaftar di OJK, 37 perusahaan yang telah memiliki izin usaha. Keseluruhan anggota AFPI ini terbagi dalam tiga sektor pembiayaan, yakni produktif, multiguna (konsumtif) dan syariah.

Juru Bicara AFPI Andi Taufan menambahkan fintech pendanaan menjadi bagian yang dominan dibandingkan fintech dengan model bisnis lain dalam distribusi ekosistem fintech. Di tengah kondisi pandemi, sepanjang 2020, pembiayaan fintech pendanaan meningkat 25% menjadi Rp 73 triliun dibanding 2019, sehingga akumulasi pembiayaan per November 2020 menjadi Rp 146,25 triliun. Berdasarkan trennya, pembiayaan fintech pendanaan akan mencapai Rp 100 triliun pada 2021.

“Fintech pendanaan akan terus mendukung perekonomian nasional dengan mengisi credit gap dari total kebutuhan kredit nasional. Menurut data Bank Dunia, total kebutuhan dana kredit Rp 1.649 triliun, terdapat kesenjangan kredit di Indonesia sekitar Rp 988 triliun per tahun (US$ 70/year), karena kapasitas penyaluran kredit industri tradisional sekitar Rp 660 triliun. Fintech pendanaan baru mengisi 7% dari credit gap ini pada tahun ini. Disinilah tantangan industri untuk terus meningkatkan peranannya,” jelas Taufan.

Selanjutnya: Fintech gencar menyalurkan pinjaman melalui e-commerce

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

×