Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mewaspadai awan tebal dan gelap dalam bentuk inflasi, kenaikan suku bunga, pengetatan likuiditas, dan pelemahan ekonomi. Selain itu, ketegangan geopolitik bahkan mulai melanda perekonomian Eropa, Amerika Serikat, dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kondisi tersebut menimbulkan efek negatif ke seluruh dunia, dalam bentuk krisis pangan dan energi sebagai akibat disrupsi rantai pasok dan kenaikan yang sangat tajam pada harga pangan dan energi dunia.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga menyebabkan gejolak di pasar uang dan arus modal ke luar dari negara-negara berkembang dan emerging market. Hal ini berpotensi melemahkan nilai tukar dan memaksa suku bunga disesuaikan ke atas.
Menurutnya, dampak rambatan global tersebut dapat mengancam perekonomian Indonesia dalam bentuk tekanan harga (inflasi), pelemahan permintaan dan pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Sinyal Harga BBM Naik Makin Kuat, Luhut Minta Kepala Daerah Saling Kerjasama
Oleh karena itu, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 dirancang dengan semangat optimisme namun tetap waspada.
Ia menyebut, optimisme tersebut dilandasi pemulihan ekonomi hingga kuartal II-2022 yang tumbuh sebesar 5,44%. Bahkan, tingkat pertumbuhan ini termasuk tertinggi di G20 dan ASEAN.
"Banyak negara-negara maju dan negara emerging justru mengalami revisi pertumbuhan menurun akibat tekanan inflasi dan pengetatan kebijakan moneter," ujar Sri Mulyani dalam Sidang Paripurna Tanggapan Pemerintah Terhadap Pemandangan Umum Fraksi Atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang APBN 2023 Beserta Nota Keuangannya, Selasa (30/8).
Sri Mulyani mengatakan, APBN 2023 kembali akan dihadapkan pada tantangan dan tugas berat, yaitu menjadi shock absorber bagi masyarakat, ekonomi dan negara. Bahkan sejak pandemi Covid-19, APBN telah dan terus bekerja sangat keras untuk melindungi masyarakat dan perekonomian yang menyebabkan defisit meningkat tajam.
Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan defisit APBN di bawah 3% Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan wujud keseimbangan antara menggunakan APBN sebagai instrumen pelindung dan pengaman ekonomi masyarakat, namun pada saat yang sama konsolidasi fiskal untuk memulihkan dan menjaga kesehatan APBN harus tetap dijaga dan dilaksanakan dengan disiplin dan konsisten.
Baca Juga: Hati-hati, Kepala BPS Ingatkan Kenaikan BBM Bisa Menyulut Angka Kemiskinan
"Ini menjadi strategi menjaga keberlangsungan pembangunan dan kemajuan ekonomi di satu sisi dan di sisi yang lain menjaga keberlangsungan APBN itu sendiri," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News