kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tolak RUU Kesehatan, Ini 7 Alasannya yang Disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil


Rabu, 14 Juni 2023 / 06:15 WIB
Tolak RUU Kesehatan, Ini 7 Alasannya yang Disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil

Sumber: Kompas.com | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kesehatan yang berisi 43 lembaga meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Perwakilan koalisi yang juga peneliti The Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi menyampaikan, RUU belum berpihak pada kepentingan rakyat dan belum berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan publik yang merupakan amanah konstitusi.

"Menyatakan sikap menunda pengesahan RUU Kesehatan. Dan kalau itu tidak dijalankan, maka langkah selanjutnya adalah justru kita harus menolak adanya RUU Kesehatan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat," kata Sri Palupi saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (13/6/2023).

Setidaknya, ada tujuh alasan yang membuat koalisi berisi 43 lembaga termasuk Yayasan LBH Indonesia ini meminta penundaan RUU.  

Baca Juga: Organisasi Profesi Kembali Tolak RUU Kesehatan

Pertama, pembahasan RUU belum mengupayakan partisipasi bermakna (meaningful participation). Hal ini merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUUXVII2020.

Dalam putusan tersebut, partisipasi publik bermakna tak sebatas pada pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Namun, sejauh mana pemerintah dapat mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).

Kedua, urgensi kebutuhan RUU Kesehatan dinilai masih lemah. Menurut dia, DIM RUU Kesehatan tidak cukup menjelaskan urgensi perlunya omnibus law dengan meleburkan 10 UU.

"Tidak terlihat masalah dasar yang dijadikan basis perlunya membuat RUU omnibus law. Karenanya, gagasan transformasi kesehatan yang digulirkan Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan perlu dikaji ulang secara komprehensif," tutur dia.  

Baca Juga: Petani Minta Pasal Tembakau dalam RUU Kesehatan Dicabut, Ini Alasannya

Ketiga, menurutnya, RUU Kesehatan cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan dan memperluas privatisasi atau komersialisasi layanan kesehatan.

Komersialisasi ini, kata dia, berpotensi memusatkan pasar kesehatan terutama di wilayah perkotaan, namun juga berpotensi memperluas kesenjangan akses layanan kesehatan di wilayah 3T di Indonesia.

"Bahkan sebelum disahkan, pemerintah (Kemenkes) sudah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan The Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF) untuk agenda transformasi pelayanan kesehatan yang melibatkan sektor swasta pada 8 Juni lalu," tuturnya.

Alasan keempat, RUU Kesehatan meniadakan alokasi minimal anggaran kesehatan. Padahal, Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik.

Sedangkan dalam draft RUU versi pemerintah (pasal 420 (2) dan (3), menghapus alokasi anggaran minimal 10 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD yang ada dalam draft RUU versi DPR. Hal ini kata dia, berdampak pada semakin minimnya dukungan anggaran untuk pelayanan kesehatan.

Baca Juga: Ini yang Akan Dilakukan IDI Jika RUU Kesehatan Disahkan

Penghapusan ketentuan alokasi anggaran minimal tersebut bertentangan dengan tujuan dibuatnya RUU Kesehatan, yaitu memperluas dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan hingga ke desa-desa, termasuk ke daerah 3T.

"Ini sangat jelas indikasi dari dihapuskannya alokasi anggaran. Larinya ke mana kalau tidak memperluas privatisasi?" tutur Sri.

Lalu, RUU Kesehatan tidak cukup menjawab persoalan pelayanan kesehatan yang rentan korupsi dan berbagai bentuk fraud. Sepanjang 2022, aparat penegak hukum sedikitnya telah menindak 27 kasus korupsi terkait kesehatan dengan kergian negara sekitar Rp 73,9 miliar.  

Kemudian, dia menilai, substansi RUU Kesehatan memuat berbagai kontradiksi. Artinya, penyusunan dan pembahasan RUU secara tergesa-gesa hanya akan membuang-buang sumberdaya negara yang sudah semakin terbatas.

Selanjutnya, tata kelola kesehatan yang disentralisasi oleh pemerintah pusat dapat mengurangi independensi di sektor kesehatan.

Salah satunya, usulan perluasan kewenangan pemerintah dalam ranah profesi kesehatan karena dominasi organisasi profesi itu disebut-sebut sebagai sumber masalah dari sistem kesehatan selama ini.

"Ironisnya dominasi profesi itu kemudian diambil alih oleh Menkes. Yang terjadi itu bukan menyelesaikan masalah tetapi hanya memindahkan masalah," jelas dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Koalisi Masyarakat Sipil Minta Pengesahan RUU Kesehatan Ditunda, Ini 7 Alasannya"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

×