kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.200   59,45   0,83%
  • KOMPAS100 1.107   11,93   1,09%
  • LQ45 878   11,94   1,38%
  • ISSI 221   1,25   0,57%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,59   1,05%
  • IDX80 127   1,36   1,08%
  • IDXV30 135   0,76   0,57%
  • IDXQ30 149   1,76   1,20%

Target bauran EBT 23% pada 2025 diyakini bisa dipenuhi lewat implementasi PLTS


Rabu, 01 September 2021 / 05:45 WIB
Target bauran EBT 23% pada 2025 diyakini bisa dipenuhi lewat implementasi PLTS

Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah akademisi meyakini implementasi PLTS dapat mendorong pemenuhan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 mendatang.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menghitung kapasitas energi terbarukan dalam draft RUPTL terbaru hanya bertambah sekitar 9 GW, padahal untuk mencapai target 23% perlu tambahan 14 GW. Mencermati besarnya potensi PLTS Indonesia (207 gigawatt/GW menurut KESDM dan 20.000 GW menurut IESR) serta keekonomian PLTS yang semakin baik adalah tepat memprioritaskan pengembangan PLTS secara masif di Indonesia.

“PLTS dapat mengisi kekurangan ini. Harga semakin kompetitif, teknologinya memungkinkan pemasangan secara cepat, baik skala besar maupun skala kecil. Pencapaian target bauran energi terbarukan dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat secara gotong royong. Perguruan tinggi sebagai pusat pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dapat mendorong percepatan tercapainya target dengan memasang PLTS atap dan mendorong pengembangan industri PLTS dalam negeri melalui penelitian dan pengembangan serta mempersiapkan mahasiswa,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam diskusi virtual, Selasa (31/8).

Rektor Institut Teknologi Sumatera Mitra Djamal yang juga telah  bekerja sama dengan perusahaan pengembang untuk membangun 1 MWp PLTS di lingkungan kampus, menilai perlu ada regulasi yang mendukung dari pemerintah. “Dukungan aturan dan keberpihakan dibutuhkan dalam upaya mempercepat kemajuan industri surya di Indonesia untuk menghasilkan produk yang kompetitif,” ujarnya.

Baca Juga: Pengamat: Pemanfaatan FSRU di Indonesia belum optimal

Hasil kajian IESR bahkan menunjukkan bahwa 1 GWp dari PLTS Atap bisa menyerap hingga 30 ribu tenaga kerja di sektor pekerjaan hijau (green job). Potensi pekerjaan hijau menjadi angin segar bagi calon-calon tenaga kerja khususnya lulusan SMK dan/atau vocational school yang siap menjawab kebutuhan pasar. 

Direktur Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia Eko Adhi Setiawan menambahkan  peran penting perguruan tinggi lainnya adalah menyuarakan pandangan objektif terhadap pengembangan PLTS di Indonesia dan mendorong kontribusi masyarakat.

“Survei yang kami pernah lakukan mendata bahwa sebanyak 80% responden di Jabodetabek ingin memasang PLTS, namun informasi tentang PLTS tersebut masih sangat kurang. Sebenarnya, hal ini bisa menjadi peluang bisnis untuk PLN untuk menggarap pasar PLTS atap, karena masih ada kecenderungan masyarakat lebih percaya PLN jika terkait dengan listrik,” jelas Eko.

Eko bahkan memprediksi dengan berkembangnya pasar PLTS akan mengubah model bisnis PLN di masa depan. “Sistem energi masa depan akan lebih terdesentralisasi dan mengarah ke digitalisasi. Model bisnis PLN bisa jadi akan berubah dengan menyewakan jaringan karena aset itu yang sudah dimiliki PLN,” tuturnya.

Direktur Center for Development of Sustainable Region (CDSR) Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Rachmawan Budiarto  mengungkapkan peluang lain yang bisa dimanfaatkan PLN saat pemanfaatan PLTS atap semakin besar adalah penyediaan jasa operasional dan perawatan.

Baca Juga: Raup laba Rp 136,10 M di semester I, WIKA disokong sektor infrastruktur dan gedung

“Prosumer (producer - consumer) membutuhkan kejelasan dan kemudahan prosedur, juga regulasi yang menarik atau meningkatkan keekonomian. Sharing comfort zone antara PLN, ESDM, dan pihak swasta harus terjadi dalam transisi energi. PLN dan prosumer bermitra bukan bersaing untuk mencapai target energi terbarukan yang lebih besar," terang Rachmawan.

Rachmawan menambahkan, pencapaian target energi terbarukan tidak harus bergantung sepenuhnya pada APBN pasalnya ada potensi mencapai target dengan prakarsa mandiri dan gotong royong.

Adapun, Eko menjelaskan, persoalan intermitensi sejatinya tak perlu dikhawatirkan mengingat data cuaca dan irradiasi matahari, keluaran listrik PLTS (PV output), pola penggunaan listrik PLTS bisa diamati dan dikumpulkan sehingga bisa dilihat polanya. Dengan mengetahui pola-pola ini, maka perencanaan sistem kelistrikan bisa dilakukan dengan mengakomodasi penetrasi tersebut, bisa dengan teknologi forecasting untuk distribusi suplai-permintaan, juga sistem penyimpanan yang optimum.

Senada, Kepala Center of Excellence Community Based Renewable Energy (CORE) Ida Ayu Dwi Giriantari mengungkapkan, saat ini intermitensi masih bisa diatasi oleh jaringan PLN.

“Selama ini, dari segi jaringan, PLN selalu mengatakan PLTS memiliki intermitensi tinggi dan jaringan PLN belum siap. Dari simulasi yang dilakukan, saat PLTS masuk di jaringan menengah tidak banyak ada kendala, penetrasi PLTS atap di banyak titik penyulang di Bali tidak terlihat mengganggu jaringan. Tentunya jika Bali mau serius 100% energi terbarukan, perlu dibuat perencanaan dan mungkin upgrade jaringan,” pungkas Ida.

Selanjutnya: Pemerintah mendorong implementasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×