Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melakukan revisi Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split untuk melakukan simplifikasi bisnis hulu migas.
Meski beberapa poin perubahan sudah cukup baik, pengamat menilai aturan baru ini belum cukup mendukung pengembangan lapangan migas tua.
Secara umum, Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menilai, Kontrak Bagi Hasil (KBH) New Simplified Gross Split cukup positif.
“New Simplified Gross Split ini, memang membuat KBH Gross Split bisa menjadi lebih menarik dibandingkan KBH Gross Split sebelumnya,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (9/6).
Di dalam new simplified gross split, diatur penyederhanaan jumlah komponen variabel dari 10 komponen menjadi 3. Kemudian penyederhanaan jumlah komponen progresif dari 3 komponen menjadi 2.
Lalu, base split minyak bumi diubah menjadi 53% untuk pemerintah dan 47% untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Sementara base split untuk gas bumi ditetapkan sebesar 51% untuk pemerintah dan 49% untuk KKKS.
Baca Juga: Pemerintah Revisi Skema Gross Split Untuk Tarik Minat Investor ke Hulu Migas
Selain itu, penilaian parameter variabel dan progresif didasarkan pada kondisi aktual setelah terdapat produksi komersial.
Pri Agung menjelaskan, dalam hal upaya untuk mengurangi aspek ketidakpastian tingkat keekonomian yang terkait dengan pemberian diskresi Menteri, KBH New Simplified Gross Split juga relatif membaik.
Di dalam aturan baru ini, ada peluang diberikannya tambahan split dan insentif lain bagi KKKS.
“Meskipun, dalam hal ini pada dasarnya juga masih ada unsur ketidakpastian karena juga masih memerlukan mekanisme dan evaluasi lebih lanjut,” terangnya.
Meski demikian, ada satu aspek fundamental yang relatif tetap dan tidak (dapat) diubah yakni risiko investasi. Di dalam New Simplified Gross Split risiko investasi sepenuhnya tetap ditanggung KKKS.
Sedangkan di dalam kontrak bagi hasil Cost Recovery, risiko investasi secara relatif ditanggung bersama (risk sharing) antara KKKS dengan negara.
Pri Agung menjelaskan, dalam kaitannya dengan upaya mencapai target lifting dalam jangka pendek hingga panjang yakni target 1 juta BOPD dan 12 BSCFD pada 2030, yang lebih diperlukan adalah fleksibilitas untuk dapat berubah dari satu jenis kontrak ke jenis lainnya.
“Fleksibilitas dalam hal kemudahan untuk mengubah besaran komponen-komponen fiskal di dalam kontrak yang ada dari waktu ke waktu (subject to evaluation, negotiable untuk meningkatkan kelayakan ekonomi),” terangnya.
Baca Juga: KKKS Sambut Positif Rencana Kementerian ESDM Revisi Aturan Gross Split
Adapun saat ini beberapa wilayah kerja migas yang sudah masuk kategori tua (mature) dan masih menjadi tulang punggung dalam pencapaian lifting migas nasional seperti di antaranya WK Mahakam, Rokan, Corridor, East Kalimantan, Offshore South East Sumatera (OSES), North West Java (ONWJ), hingga Blok Cepu pada dasarnya memerlukan insentif dalam bentuk kemudahan fleksibilitas itu.
Kemudahan fleksibilitas itu dibutuhkan untuk menaikkan atau sekadar menjaga tingkat produksi. WK mature memerlukan upaya seperti pengembangan lapangan ataupun Enhanced Oil Recovery (EOR) yang secara teknis tetap memiliki risiko cukup tinggi.
“Dalam konteks ini, berbagi risiko sebagaimana hal itu diakomodir di dalam KBH Cost Recovery menjadi tetap relevan dan diperlukan,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News