kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Soal Pungutan Ekspor Progresif untuk Sejumlah Produk Nikel, Ini Kata Asosiasi Tambang


Sabtu, 15 Januari 2022 / 05:45 WIB
Soal Pungutan Ekspor Progresif untuk Sejumlah Produk Nikel, Ini Kata Asosiasi Tambang

Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sedang mengkaji pungutan pajak ekspor progresif untuk sejumlah produk nikel yakni nikel pig iron dan feronikel. Sejumlah pelaku usaha dari hulu mendukung kebijakan ini. 

Djoko Widajatno, Executive Director Indonesian Mining Association (IMA) menilai pungutan pajak ekspor ini adil karena smelter tidak membayar royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lainnya. Sedangkan penambangnya wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), royalti, jaminan reklamasi, serta jaminan pasca-tambang. "Tujuannya adalah menegakkan keadilan dalam kebijakan fiskal," jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (14/1). 

Menurutnya, setelah diatur kewajiban untuk memenuhi smelter dan ekspor bijih nikel dilarang, maka kebijakan pungutan ekspor progresif ini tidak akan berdampak pada pasokan nikel ke dalam negeri. 

Namun, Djoko menilai bahwa pengenaan pajak ini berpotensi membuat pengusaha menjadi enggan membangun smelter

Baca Juga: Volume Penjualan Emas Antam (ANTM) Naik Hingga 33% di Tahun 2021

"IMA memberikan masukan sebaiknya pembangunan smelter dibatasi karena cadangan nikel dengan umpan sekitar 40 juta biji nikel akan berumur 47 tahun jikalau tidak ada eksploitasi yang berhasil. Dengan rencana pembangunan 23 smelter yang selesai, maka umpannya akan menjadi 72 juta sehingga umurnya menjadi 23,5 tahun atau di bawah dari umur smelter yang dibangun," ujarnya. 

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendukung pungutan pajak ekspor untuk kedua komoditas nikel ini supaya negara bisa mendapatkan value aded dari industri pengolahan mineral. Sekjen APNI, Meidy Katrin Lengkey mengatakan selama itu menguntungkan negara pihaknya tentu sangat mendukung kebijakan tersebut. 

Meidy menerangkan, jika ditarik ke belakang pada saat dahulu Kementerian ESDM mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian (IUP OPK Olah Murni) untuk pabrik atau smelteroutput nikel dibebankan bea keluar. Namun, pada saat ditarik ke produk perindustrian dengan Izin Usaha Industri (IUI) bea keluarnya dibebaskan. 

"Dalam hal ini apa yang didapatkan negara? Tidak ada. Kami miris di mana produk nikel misalnya saja nikel pig iron atau feronikel yang diekspor ke China itu dibebankan bea masuk sekitar 15%. Masa di kita gratis tetapi di sana terima 15% padahal mereka tidak produksi, tentu tidak fair," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (13/1). 

Dia mengatakan, saat ini industri hilir nikel sudah banyak mendapatkan fasilitas pajak seperti tax allowance dan tax holiday. Meidy tidak menampik, bahwa kebijakan tersebut sangat bagus untuk membuat industri nikel menjadi lebih menarik sehingga dapat mengundang investor membangun smelter di Tanah Air. 

Baca Juga: Harga Nikel Menanjak, Ini Target Volume Produksi Vale Indonesia (INCO) di 2022

Namun, Meidy berpesan semua produk terutama olahan  mineral nikel harus memberikan kontribusi pada penerimaan negara. "Supaya negara mendapatkan value aded dari industri pengolahan mineral," kata Meidy. 

Menurut Meidy, meskipun smelter membutuhkan investasi yang besar, di saat tren harga nikel yang sangat tinggi, produsen nikel mendapatkan untung yang besar. "Tentu nanti hasil pungutan tersebut untuk negara dan membangun daerah sehingga dari APNI sangat mendukung," tegasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×