Sumber: The Straits Times | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - DOHA. Program Pembangunan PBB (UNDP) pada hari Sabtu (4/3) mengingatkan bahwa saat ini ada 52 negara yang mengalami kesulitan membayar utang, hampir separuhnya bahkan terancam gagal bayar.
Kepala UNDP Achim Steiner mengatakan, 25 dari 52 negara yang kesulitan membayar utang kini terpaksa menghabiskan lebih dari seperlima pendapatan negara untuk membayar utang luar negeri.
"UNDP memperkirakan bahwa 52 negara berada dalam kesulitan utang atau selangkah lagi menuju tekanan utang dan potensi gagal bayar," kata Steiner di sela-sela KTT Negara Terbelakang (LDC) di Doha, seperti dikutip The Straits Times.
Steiner tidak menyebutkan nama negara yang mengalami kesulitan tersebut, namun akhir bulan Februari UNDP merilis laporan yang menyerukan penghapusan 30% utang luar negeri untuk 52 negara pada pada perhitungan tahun 2021.
Baca Juga: Lebih dari 30 Negara Tolak Keterlibatan Atlet Rusia di Kompetisi Internasional
Ke-52 negara itu termasuk Argentina, Lebanon dan Ukraina beserta 23 negara dari sub-Sahara Afrika, 10 negara Amerika Latin dan Karibia, dan 8 negara dari Asia Timur dan Pasifik.
"Pasar keuangan tidak memberikan perhatian yang cukup karena 52 negara itu hanya mencakup 3% dari total utang luar negeri global, tapi jumlahnya seperenam dari populasi dunia," lanjut Steiner.
Negara-negara Afrika seperti Nigeria, Mali dan Burkina Faso bahkan dianggap telah kehilangan kemajuan pembangunan hingga 20 tahun karena konflik politik dan kegagalan pemerintah untuk menyediakan layanan dasar, keamanan, kesehatan dan pendidikan.
Perang di Ukraina pun tidak hanya berdampak pada ekonomi negara tersebut, tapi juga menimbulkan krisis pangan di banyak negara yang berujung pada kesulitan ekonomi.
Baca Juga: Anggota G20 Kompak Mengutuk Perang di Ukraina, Kecuali Rusia dan China
"Sekarang ada perang di Ukraina, ada dampak pada harga pangan dan energi global dan terutama ketika menyangkut utang, dampak inflasi mendorong suku bunga naik," katanya.
Masalah lain timbul karena meningkatnya biaya bahan bakar. Situasi ini membuat negara-negara berjuang keras untuk mempertahankan stabilitas fiskal dasar.
Di saat yang sama, mereka masih harus menghadapi tekanan untuk berinvestasi dalam energi terbarukan dan memerangi perubahan iklim.
"Kemampuan negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah untuk memperluas infrastruktur energi bersih sedang terpengaruh. Harus ada investasi internasional yang lebih besar pada program listrik bersih dan terjangkau untuk negara-negara miskin," pungkas Steiner.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News