Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021 mendapat pertentangan dari Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman (APIDMI). Asal tahu saja, belum lama ini DPR RI menetapkan 33 RUU yang masuk Prolegnas prioritas 2021, salah satunya RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Sekretaris Jenderal APIDMI Ipung Nimpuno menyampaikan, sebenarnya RUU Larangan Minuman Beralkohol selalu diusulkan di tiap tahun sejak 2014 silam, meski ujung-ujungnya tidak ada pembahasan konkret. Dari judulnya saja, ia menilai bahwa RUU ini cenderung diskriminatif dan sarat akan kepentingan politis ketimbang kebutuhan yang sesungguhnya.
“Dari 2014 cuma usulan saja. Kami pun tidak paham apa manfaat RUU ini. Banyak hal yang mestinya lebih diprioritaskan pemerintah,” ujar dia, Rabu (24/3).
Urgensi perumusan RUU Larangan Minuman Beralkohol dipandang tidak jelas. Sebab, menurut Ipung, konsumsi minuman beralkohol (minol) di Indonesia tergolong minim yakni hanya 1 mililiter per orang atau salah satu yang terendah di Asia.
Baca Juga: RUU Larangan Minuman Beralkohol masuk prolegnas prioritas 2021, ini kata pelaku usaha
Lagi pula, minol bukan merupakan produk yang dilarang di Indonesia, karena ada sebagian masyarakat yang mengkonsumsi minol untuk keperluan ritual adat. Beda dengan narkoba dan pornografi yang jelas-jelas dilarang sehingga ada aturan khusus terkait hal tersebut.
Stigma bahwa minol dapat merusak kesehatan fisik dan mental seseorang tidak lah benar. Ipung berpendapat, kasus-kasus orang yang mabuk sehingga menjadi sakit atau meninggal serta bertindak kekerasan atau kriminal justru biasanya disebabkan karena mereka mengkonsumsi minol ilegal atau oplosan.
Minol yang legal sudah melalui distribusi yang ketat dan pengenaan biaya cukai yang tinggi sehingga tidak bisa sembarangan dikonsumsi oleh orang-orang. Sehingga, dampak negatif yang ditimbulkan dari minuman tersebut seharusnya dapat diminimalisir. “Pembahasan RUU ini pasti memakan biaya mahal dan waktu yang lama di DPR. Lebih baik mereka membahas RUU yang strategis,” ungkap Ipung.
Ia khawatir jika RUU ini lolos dan disahkan, maka akan mematikan industri minol di Indonesia mengingat produksi, distribusi, hingga konsumsi produk tersebut dilarang. Industri yang ditopang oleh konsumsi minol, seperti hiburan dan pariwisata juga akan terdampak oleh RUU tersebut. Bukan tidak mungkin wisatawan mancanegara enggan mendatangi Indonesia lantaran ada larangan konsumsi minol.
“Ada banyak tenaga kerja yang bergantung pada industri minuman beralkohol, sehingga RUU ini bisa berdampak negatif bagi mereka,” tandas dia.
Selanjutnya: Strategi industri minuman beralkohol menghadapi tahun 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News