Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap menyiapkan strategi khusus demi mempertahakan bisnisnya di tengah hampir selesainya revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap.
Pasalnya, pengusaha menilai aturan baru ini tidak sepenuhnya berpihak pada mereka.
Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, revisi Permen ESDM PLTS Atap akan segera selesai di Juli, dengan catatan proses yang berjalan di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) lancar.
Baca Juga: Revisi Permen PLTS Atap Akan Selesai Juli 2023
Wakil Ketua Asosiasi PLTS Atap (APSA) Bali, Erlangga Bayu menyatakan, harus siap menjalankan bisnis di tengah kebijakan baru yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
“Kebijakan baru ini ada plus minusnya. Jadi kami ingin cepat (diterbitkan) supaya lebih jelas, tapi di sisi lain ingin lama supaya klien tetap bisa ekspor listrik,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (6/7).
Meski nantinya aturan main jadi lebih jelas, Erlangga menyatakan, isi kebijakan anyar tersebut akan berdampak pada keberlangsungan bisnis perusahaan-perusahaan PLTS Atap skala kecil dan menengah.
Salah satu poin dalam revisi Permen ESDM PLTS Atap yang dikhawatirkan membebani pelaku usaha ialah nilai kelebihan energi listrik dari sistem PLTS Atap Pelanggan ke Jaringan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) ke depannya tidak diperhitungkan.
Erlangga menyatakan, secara langsung poin aturan tersebut akan menekan omzet perusahaan karena pihaknya hanya bisa menawarkan pemasangan PLTS Atap skala kecil ke segmen residensial.
Di Bali tidak banyak pelanggan di segmen komersial dan industri (C&I) seperti perkantoran yang menggunakan surya atap. Jikapun ada, pelanggan di segmen tersebut hanya sekadar memenuhi kewajiban ESG saja.
“PLN kan memonopoli kita harus tetap ikuti maunya PLN dan ESDM. Jadi kita sekarang menawarkan ke pelanggan kecil-kecil (kapasitasnya). Supaya klien tidak rugi memasang kebesaran tetapi tidak bisa diekspor akan sia-sia,” terangnya.
Baca Juga: Prospek PLTS Cerah, Azet Surya Lestari Rencanakan IPO
Berbeda dengan APSA, perusahaan pengembang PLTS, SUN Energy tetap memfokuskan bisnisnya ke sektor industri dan komersial.
Deputy CEO SUN Energy, Dionpius Jefferson menyatakan, dampak kebijakan yang baru tentu saja akan terasa, tetapi pihaknya masih dapat mengembangkan bisnis dengan fokus bermain di segmen industri dan komersial.
“Target tetap sama untuk akuisisi pelanggan, hanya saja akan ada penyesuaian target operasi karena menyesuaikan dengan persetujuan PLN,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Selain bisnis PLTS Atap, Dion mengakui, SUN Energy juga melakukan diversifikasi bisnis untuk melengkapi service yang dapat ditawarkan ke pelanggan. Hal ini dilakukan supaya pihaknya tetap memiliki keunggulan di tengah persaingan pasar.
Dion mencontohkan, jasa lain yang ditawarkan perusahannya melalui Sunterra yakni paket residensial dan SUN mobility untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik. Selain itu, ada SUN Solutions yang menawarkan industrial water.
“Melalui ini kami melengkapi visi di SUN Group sebagai penyedia integrated solar energy solutions di Indonesia. Sehingga kami optimis dapat berkembang,” tegasnya.
Di sepanjang tahun ini SUN Energy membidik konstruksi PLTS sebesar 100 Mega Watt Peak (MWp).
CEO SolarKita Technology, Amarangga Lubis mengungkapkan, kebijakan baru tentu akan memberikan dampak bagi usahanya. Namun sebagai pelaku usaha, harus mencari cara untuk beradaptasi dengan aturan yang ada.
“Harapan besar kami Kementerian ESDM bisa konsisten menerapkan peraturan, tidak berubah-ubah terus. Selama ini yang menjadi kendala di masyarakat ialah ketidakpastian peraturan,” ujarnya.
Rangga menceritakan, selama setahun belakangan, konsumen yang menghubungi Solar Kita rata-rata banyak bertanya soal kebijakan yang simpang siur. Mereka khawatir apakah rencananya menggunakan PLTS Atap diizinkan oleh PLN.
Saat ini, penjualan Solar Kita dari sisi jumlah pelanggan didominasi atau 70%-80% sektor residensial, sedangkan sisanya dari segmen industri dan komersial.
Maka itu dengan adanya kebijakan baru ini, Solar Kita akan lebih gencar menawarkan sistem hybrid ke pelanggan, yakni PLTS yang memadukan sistem on-grid dan baterai. Selain itu, pihaknya juga akan menawarkan pemasangan kapasitas listrik surya atap yang lebih rendah dari total kapasitas terpasang di rumah pelanggan.
Baca Juga: Revisi Permen PLTS Atap Siap Diajukan untuk Harmonisasi Dalam Waktu Dekat
Di sisi lain, Rangga juga tidak menampik, akan memperlebar bisnisnya ke segmen komersial dan industri.
“Kalau dalam kondisi seperti ini, kami juga expand bisnis, penetrasi ke segmen C&I karena tidak terlalu terdampak revisi kebijakan mengenai peniadaan ekspor impor listrik sebagai pengurangan tagihan,” ujarnya.
Rangga memproyeksikan, ke depannya bisnis Solar Kita akan lebih baik karena didukung kestabilan di level regulasi. Dia menilai pelaku usaha, investor, dan pengguna tidak akan ragu lagi menggunakan PLTS Atap.
“Saya berharap dan optimistis selama peraturan yang dirilis bisa dilaksanakan secara konsisten dan komitmen tinggi saya melihatnya industri PLTS akan terus berkembang di level makro dan level perusahaan kami,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News