kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45921,71   -13,81   -1.48%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rencana baru Presiden China Xi Jinping: Redistribusi kekayaan untuk atasi kesenjangan


Sabtu, 21 Agustus 2021 / 05:15 WIB
Rencana baru Presiden China Xi Jinping: Redistribusi kekayaan untuk atasi kesenjangan

Sumber: CNN | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID -  BEIJING. Orang-orang kaya China boleh jadi resah dengan rencana baru Presiden China Xi Jinping. Xi  mengeluarkan janji baru untuk mendistribusikan kembali alias redistribusi kekayaan di China.

Rencana Xi ini akan menambah lebih banyak tekanan pada orang kaya dan bisnis terkaya di negara itu.

Xi mengatakan kepada para pemimpin tinggi dari Partai Komunis China yang berkuasa pada Selasa lalu bahwa pemerintah harus membangun sistem untuk mendistribusikan kembali kekayaan demi kepentingan "keadilan sosial,. Demikian ringkasan pidato Xi yang diterbitkan Xinhua, kantor berita China yang dikutip CNN 

Dia mengatakan perlu untuk mengatur pendapatan yang terlalu tinggi secara wajar, dan mendorong orang dan perusahaan berpenghasilan tinggi untuk mendistribusikan pendapatan lebih banyak ke masyarakat.

Laporan Xinhua tidak menyebutkan rincian tentang bagaimana strategi Xi untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, pemerintah China dapat mempertimbangkan perpajakan atau cara lain untuk mendistribusikan kembali pendapatan dan kekayaan.

Baca Juga: Tak becus tangani Covid-19, China pecat lebih dari 30 pejabat

Xi bahkan menyebut perlunya "kemakmuran bersama" di antara orang-orang Tiongkok sebagai hal yang penting bagi Partai untuk mempertahankan kekuasaan. Sekaligus mengubah negara itu menjadi negara yang berkembang penuh, kaya dan kuat pada tahun 2049 mendatang. 

"Kemakmuran bersama adalah kemakmuran semua orang. Bukan kemakmuran segelintir orang," kata Xi. 

Frasa itu membawa banyak makna sejarah di China, dan penggunaan Xi dalam konteks redistribusi kekayaan mengingatkan penggunaannya oleh Ketua Mao Zedong di pertengahan abad terakhir ketika mantan pemimpin Komunis menganjurkan reformasi ekonomi yang dramatis untuk mengambil alih kekuasaan dari tuan tanah dan petani kaya, elite pedesaan.

Mao memerintah China melalui transformasi dan pergolakan ekonomi dan sosial yang besar. Kematiannya pada tahun 1976 menandai berakhirnya Revolusi Kebudayaan China.

Setelah itu, China memulai dekade liberalisasi ekonomi di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping.

Deng mengadopsi penggunaan frase "kemakmuran bersama" sebagai negara menganut prinsip pasar bebas dalam ekonomi sosialis China, dan membuka negara komunis terbesar di dunia ke Barat.

Baca Juga: Xi Jinping berjanji akan menyediakan 2 miliar dosis vaksin Covid-19 ke seluruh dunia

Selama bertahun-tahun, China telah bertransisi dari negara miskin menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia dan salah satu kekuatan terbesarnya dalam bisnis dan teknologi.  Pertumbuhan ekonomi China yang cepat dapat membantunya menyalip Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia dalam satu dekade.

Tumbuh ketidaksetaraan

Tetapi saat sektor swasta China tumbuh tinggi dan jumlah orang kaya China melampaui jumlah orang kaya Amerika untuk pertama kalinya, kesenjangan antara kaya dan miskin dan warga pedesaan dan perkotaan di China makin memburuk.

Masalah itu tampaknya membuat Xi Jinping kesal. Fokus Xi pada redistribusi kekayaan terkait dengan tujuan ekonomi yang lebih luas dari pemerintahannya. 

Dalam beberapa bulan terakhir, China telah memulai tindakan keras yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perusahaan teknologi, keuangan, pendidikan, dan sektor lainnya atas nama membendung risiko keuangan, melindungi ekonomi, dan memberantas korupsi.

Pemerintahan Xi juga menyebutkan perlunya menjaga keamanan nasional dan melindungi kepentingan rakyatnya. 

Regulator secara luas menyalahkan sektor swasta karena menciptakan masalah sosial ekonomi yang berpotensi mengganggu stabilitas masyarakat dan memengaruhi cengkeraman kekuasaan Partai.

Tindakan keras terhadap perusahaan swasta telah mengguncang investor global dan memicu kekhawatiran tentang prospek inovasi dan pertumbuhan ekonomi China.

Baca Juga: Xi Jinping kunjungi Tibet untuk pertama kalinya sebagai Presiden

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×