kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Relasi perusahaan media dengan raksasa teknologi tidak adil, begini penjelasan AMSI


Rabu, 24 Februari 2021 / 07:10 WIB
Relasi perusahaan media dengan raksasa teknologi tidak adil, begini penjelasan AMSI

Reporter: Venny Suryanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mendorong pemerintah membuat regulasi tentang hak atas konten media yang digunakan oleh raksasa teknologi seperti Google, Twitter dan Facebook

Wenseslaus Manggut, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengatakan, relasi perusahaan media sebagai produsen berita dengan raksasa teknologi (selaku distributor berita) tidak adil. Selama ini relasi tersebut merugikan perusahaan media.

“Terkait rights atas konten. Konten – konten kita diproduksi dengan proses yang sebetulnya melewati sekian tahap, ada proses jurnalistik di belakangnya, kita menggaji orang, tiba – tiba di temen distribusi menjadikannya produk komoditi bisnis tanpa media nya dapat apa – apa,” kata Wens saat dihubungi, Senin (22/2).

Baca Juga: AMSI dorong pemerintah terapkan social media law dalam revisi UU ITE

Wens menyebut, di sejumlah negara regulasi yang mengatur antara perusahaan media dengan raksasa teknologi tersebut telah diatur. Misalnya di Negara Australia. Bahkan, Australia telah membuat regulasi yang menyatakan kewajiban raksasa teknologi seperti Google, Facebook, dan Twitter untuk membayar konten media setempat yang disebarkan di platformnya masing – masing.

“Membicarakan hubungan antara tech company dan media company. Di beberapa negara formulasi hubungan itulah yang diatur dalam publisher rights, hak atas konten yang dimiliki oleh publisher. Kalau melihat Australia mengarahnya ke publisher rights, ini dimulai dari adanya regulasi,” ujar dia.

Selain itu, AMSI mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi yang mengatur media sosial. Wens menilai, penguatan regulasi ini dapat dimasukkan dalam revisi UU informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) yang saat ini tengah diwacanakan oleh pemerintah.

Wens mendorong, pemerintah Indonesia dapat meniru apa yang telah dilakukan pemerintah Jerman melalui Undang-Undang NetzGD yang mengatur platform media sosial.

UU tersebut tegas mengatur konten negatif yang ada dalam platform media sosial. Jika platform media sosial tidak menghapus konten negatif dalam kurun waktu tertentu setelah adanya laporan, maka platform media sosial bersangkutan akan dikenakan denda.

Baca Juga: AMSI rumuskan strategi mendorong ekosistem digital yang adil bagi media online

Wens menilai, UU ITE lebih mengatur pada user (pengguna) media sosial, bukan mengatur platform media sosial. Padahal, platform media sosial juga mesti bertanggung jawab atas adanya konten negatif yang ada di platformnya.

“Sosial media law perlu didorong. Saya kira perlu untuk menyehatkan ekosistem ini dengan model seperti Undang-Undang NetzGD nya Jerman. Yang diatur platform nya, yang banyak diregulasi platformnya,” tutur Wens.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×