kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PLTS masih minim, 5 tahun ke depan perlu tambahan PLTS lebih dari 1.000 MW per tahun


Jumat, 27 November 2020 / 06:25 WIB
PLTS masih minim, 5 tahun ke depan perlu tambahan PLTS lebih dari 1.000 MW per tahun

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia tercatat masih minim. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mencatat kesenjangan (gap) yang sangat lebar dari realisasi kapasitas PLTS saat ini dengan target yang harus dicapai dalam bauran energi tahun 2025.

Ketua AESI Andhika Prastawa membeberkan, untuk dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di tahun 2025, kontribusi dari pembangkit listrik surya diproyeksikan harus mencapai 6.500 Megawatt (MW).

Namun, saat ini kapasitas terpasang yang ada di Indonesia masih kurang dari 200 MW. "Ini menjadi PR kita yang besar, mengingat kesenjangan yang sangat besar antara apa yang kita miliki saat ini dengan target. Ini membuka kesenjangan dengan 6.500 MW yang harus dicapai dalam 5 tahun mendatang," kata Andhika dalam salah satu sesi di IndoEBTKE Connex 2020 yang digelar Kamis (26/11).

Alhasil, untuk mengejar gap tersebut, dalam lima tahun ke depan perlu tambahan kapasitas PLTS lebih dari 1.000 MW setiap tahun. "Dengan dibagi rata, maka sat tahun dalam lima tahun mendatang, mungkin lebih dari 1.000 MW harus terpasang setiap tahun," sebut Andhika.

Baca Juga: Jadi pelopor energi PLTS, Jonan sebut biaya pemasangan 1000 watt setara motor bebek

Kendati begitu, Andhika tak menampik upaya yang telah dilakukan pemerintah dan stakeholders terkait untuk menggenjot pengembangan PLTS di Indonesia. Termasuk dalam pemanfaatan Rooftop alias PLTS Atap.

Salah satunya dengan penyediaan payung hukum penggunaan PLTS Atap bagi pelanggan PT PLN (Persero) melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 tahun 2018. Regulasi ini pun telah diubah untuk mengakomodasi masukan stakeholders melalui Permen Nomor 13 tahun 2019. "Penerbitan Permen yang memulai era penggunaan surya atap di Indonesia," ujar Andhika.

Hanya saja, dia menyebut bahwa masih ada kekurangan di dalam regulasi tersebut. Meski tidak membeberkan detail perubahan yang diusulkan, namun AESI mendorong adanya evaluasi untuk melakukan sejumlah perbaikan dalam regulasi PLTS Atap tersebut.

Sebab, menggenjot penggunaan PLTS Atap menjadi opsi yang memungkinkan untuk dilakukan dalam mengakselerasi bauran EBT. Andhika memberikan gambaran, dengan daya terpasang sistem listrik di Jawa-Bali pada siang hari sekitar 25.000 MW atau 25 Gigawatt (GW), maka penggunaan PLTS Atap yang bisa diakomodasi oleh sistem Jawa-Bali bisa mencapai 2,5 GW.

"Itu sudah membantu, setidaknya mendekati 50% dari target bauran energi nasional. Sehinga penggunan PLTS Atap sangat didorong," tegas Andhika.

Namun, dia mengingatkan bahwa sinergi antara kementerian terkait mutlak diperlukan dalam penggunaan PLTS Atap. Terutama antara Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan juga Kementerian Perindustrian.

Sebab, Kementerian BUMN sebagai pembina korporasi plat merah bisa mendorong pemanfaatan energi surya. Di sisi lain, Kementerian Perindustrian bisa menggenjot Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk pengembangan industri domestik panel surya.

Selanjutnya: Akhir cerita pembangkit listrik fosil yang sudah uzur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

×