kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah sisir 9.496 wajib pajak badan yang merugi, akan dikenakan pajak 1%


Selasa, 29 Juni 2021 / 04:15 WIB
Pemerintah sisir 9.496 wajib pajak badan yang merugi, akan dikenakan pajak 1%

Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan menarik pajak para korporasi atau wajib pajak (WP) badan yang merugi dengan skema alternative minimum tax (AMT). Rencananya, tarif yang akan diberlakukan pemerintah sebesar 1% dari peredaran usaha.

Agenda tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Menkeu dan jajarannya telah membahas pokok-pokok RUU tersebut bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (28/6).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, jumlah wajib pajak merugi terus meningkat. Pemerintah mengendus, hal itu digunakan wajib pajak badan untuk melakukan praktik penghindaran pajak. Benar saja pada tahun 2015- 2019 terdapat 9.496 wajib pajak badan yang melaporkan perusahannya mengalami kerugian.

Jumlah wajib pajak yang merugi dalam lima tahun ke belakang itu menjadi potensi penermiaan negara bila skema AMT lolos diundangkan. Adapun, angka tersebut naik 82,65% dibandingkan periode 2012-2016 yang tercatat ada 5.199 wajib pajak badan rugi.

Baca Juga: Realisasi penerimaan pajak capai Rp 459,6 triliun hingga akhir Mei 2021

“WP ini melaporkan rugi terus menerus, namun kami melihat mereka terus beroperasi bahkan mereka kembangkan usahanya di Indonesia. Ini yang disampaikan berbagai praktik-praktik secara internasional juga terjadi,” kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (28/6).

Sri Mulyani mengatakan, skema AMT penting diterapkan, sebab saat ini Indonesia tidak memiliki memiliki instrumen penghindaran pajak (GAAR) yang komperhensif.

“Kami tidak akan melakukan pemungutan pajak yang tidak adil, namun kita ingin justru lakukan compliance yang adil. Banyak wajib pajak badan gunakan skema penghindaran pajak, sementara Indonesia belum miliki instrumen penghindaran pajak yang sifatnya komperhensif, sehingga terjadi (celah) yang  digunakan jadi kami hadapi praktek yang gerus basis perpajakan,” ucap Sri Mulyani.

Di sisi lain, Sri Mulyani menambahkan, proporsi surat pemberitahuan (SPT) badan rugi fiskal terhadap total SPT badan terus meningkat. Pada tahun 2019, porsinya sebesar 11%, melonjak dari 2012 yang hanya 8%.

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan, berdasarkan hasil kajian penghindaran pajak secara global, OECD dan UNCTAD menyebutkan sebanyak 60%-80% perdagangan dunia merupkan transkasi afiliansi dilakukan perusahaan multi yurisdisi atau perusahaan multinasional.

Sementara kasus di Indonesia sebanyak 37%-42% dilaporkan sebagai transaksi afiliasi dalam SPT WP dan dalam hal ini terjadi potensi penggerusan basis pajak dan penggeseran laba diperkirakan USS 100-US$ 240 miliar per tahun. Angka ini setara dengan 4%-10% penerimaan PPh badan global.

“Jadi secara dunia ini terjadi dan perlu instrumen untuk menangkal penghindaran pajak global dalam bentuk minimum tax dan GAAR,” kata Sri Mulyani.

Selanjutnya: BPK temukan pemberian Rp 1,69 triliun insentif perpajakan tidak wajar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×