kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pada Tahun Ini, Phapros (PEHA) Dorong Produksi dan Pengembangan Produk Fitofarmaka


Sabtu, 11 Maret 2023 / 12:00 WIB
Pada Tahun Ini, Phapros (PEHA) Dorong Produksi dan Pengembangan Produk Fitofarmaka

Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Phapros Tbk (PEHA) menyampaikan pihaknya akan fokus pada produksi dan pengembangan produk fitomarmaka di pasar ekspor tahun ini.

Direktur Utama PT Phapros Tbk Hadi Kardoko menjelaskan produk-produk fitofarmaka dan turunannya merupakan bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang sejak dulu gemar meramu dan meracik bahan-bahan tradisional sebagai bagian dari upaya penyembuhan. Di era industri seperti saat ini, teknologi mampu beradaptasi terhadap warisan lokal tersebut tanpa menghilangkan cita rasa aslinya.

“Phapros sendiri telah lama mengembangkan dan memiliki produk fitofarmaka, bahkan menjadi salah satu inisiator produk fitofarmaka di kalangan industri farmasi di Indonesia. Obat tradisional sudah akrab dengan masyarakat Indonesia karena merupakan bagian dari warisan leluhur bangsa sejak ratusan tahun lalu,  sehingga penetrasinya diharapkan lebih mudah,” ungkapnya, Jumat (10/3).

Sebagai bagian dari Holding BUMN Farmasi, tutur Hadi, Phapros berkomitmen untuk memajukan industri obat tradisional dan herbal di Indonesia dengan terus berinovasi sehingga dapat diterima dengan baik oleh pasar lokal dan mancanegara.

Baca Juga: Sejahteraraya Anugrahjaya (SRAJ) Tambah Rumah Sakit Baru di Bandung

Hadi menambahkan bahwa produk fitofarmaka telah melewati proses penelitian yang panjang dan teruji secara klinis baik dari sisi khasiat maupun keamanan bagi penggunanya.

"Saat ini Phapros telah memiliki 2 produk fitofarmaka di Indonesia yakni Tensigard untuk hipertensi dan X-Gra untuk stamina serta daya tahan tubuh. Kami berharap produk herbal kami yang lain ke depannya akan tumbuh dengan pesat dan semakin diterima oleh masyarakat,” ujarnya.

Ia melanjutkan, penjualan ekspor PT Phapros Tbk (PEHA) juga ditargetkan untuk tumbuh dobel digit. Diperkirakan pada tahun 2023 pertumbuhan ekspor Phapros akan mencapai lebih dari 15% dengan menyasar negara-negara Asia dan Amerika Selatan seperti Peru, Filipina, dan Kamboja.

Hadi Kardoko berkata bahwa pasar ekspor masih terbuka cukup lebar bagi produk seperti multivitamin, antibiotik, anti analgesik, produk untuk menyamankan perjalanan, antialergi, hingga antituberkulosis. Ini belum termasuk produk-produk obat dari kelas terapi lainnya serta alat kesehatan yang Phapros produksi melalui kerja sama dengan riset mitra-mitra universitas.

Tak hanya itu, produk herbal merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia baik dari sisi bahan baku maupun bagian dari warisan budaya. Dari sisi bahan baku, Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan kekayaan biodiversitas terbesar di dunia yang sangat kaya dengan bahan baku obat-obatan berbahan alami.

Merujuk pada data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dari 30 ribu spesies tanaman yang berpotensi sebagai tanaman obat, sedikitnya ada 7.500 jenis tanaman yang diketahui berkhasiat obat dengan 800 diantaranya menjadi bahan jamu. Dari ekosistem laut, Indonesia juga memiliki spesies yang bisa dikembangkan sebagai tanaman obat seperti terumbu karang, rumput laut, dan seagrass (padang lamun).

Baca Juga: Nusantara Sawit Sejahtera (NSSS) Bidik Laba Bersih Rp 100 Miliar di 2023

Menurut anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak, pengembangan inovasi dan teknologi di bidang obat herbal, terutama fitofarmaka harus berujung pada industrialisasi sehingga Indonesia bisa mengurangi bahkan lepas dari ketergantungan terhadap bahan baku obat yang saat ini 90% masih diimpor.

Jika industri farmasi berbasis fitofarmaka lokal dikembangkan, bukan hanya melepaskan diri dari ketergantungan impor bahan baku, namun Indonesia bisa menjadi salah satu eksportir obat herbal terbesar di dunia.

“Saat ini, Indonesia baru menguasai kurang dari 1% pasar herbal dunia, sehingga pendekatan industrialisasi  fitofarmaka dan modernisasi pengolahan obat tradisional seperti jamu menjadi keharusan agar obat herbal Indonesia mampu bersaing di pasar global. Sehingga industri ini bisa menciptakan lapangan kerja baik di sisi hulu, yaitu produsen tanaman dan bahan baku herbal, industri pengolahan, hingga pemasarannya,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

×