kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Oversuplai berpotensi terjadi di 2029 jika proyek 35.000 MW sepenuhnya beroperasi


Kamis, 21 Januari 2021 / 07:10 WIB
Oversuplai berpotensi terjadi di 2029 jika proyek 35.000 MW sepenuhnya beroperasi

Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi kelebihan pasokan listrik sangat mungkin terjadi ketika proyek pembangkit 35.000 megawatt (MW) rampung. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya dan keseriusan pemerintah supaya risiko tersebut teratasi.

Dalam berita sebelumnua, Menteri ESDM Arifin Tasrif memastikan bahwa kondisi lebebihan pasokan listrik berpotensi terjadi di tahun 2029 jika proyek pembangkit 35.000 MW sepenuhnya beroperasi. Pemerintah mengkaji, potensi kelebihan pasokan listrik tersebut berkisar antara 40% sampai 60%. Persentase cadangan daya pembangkit atau reserve margin pun bisa mencapai 50% dari idealnya di level 30%.

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, potensi kelebihan pasokan akibat proyek listrik 35.000 MW memang cukup besar dan bisa mencapai 40%-50%.

Penyebab utamanya adalah mismatch antara proyeksi permintaan listrik dan realisasi konsumsi listrik yang ada. Ketika proyek pembangkit 35.000 MW direncanakan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% sehingga perlu ditopang dengan pertumbuhan konsumsi listrik 7,5%-8% per tahun. 

Ditambah lagi, saat itu Indonesia masih mengalami kondisi kurang pasok di beberapa sistem. “Jadi, di 2014 itu kebutuhan kapasitas pembangkit baru diperkirakan sekitar 25 GW—35 GW,” ucap Fabby, Rabu (20/1).

Namun, dalam perjalanannya, pertumbuhan ekonomi di rentang 2015—2019 rata-rata hanya 5% dan pertumbuhan listrik di kisaran 4,5% atau jauh dari proyeksi yang dipakai dalam perencanaan. Alhasil, kelebihan pasokan tak terhindarkan. Belum lagi, terdapat pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi turun, termasuk pertumbuhan konsumsi listrik.

Baca Juga: Proyek pembangkit 35.000 MW dinilai akan sulit terealisasi sesuai rencana

“Dalam tiga tahun ke depan, perkiraan pertumbuhan listrik mungkin di kisaran 4% per tahun sambil menunggu pemulihan ekonomi dan masuknya investasi baru pasca pandemi,” ungkap dia.

Oleh karena itu, untuk menghindari kelebihan pasokan listrik, pemerintah harus benar-benar serius melakukan renegosiasi waktu commercial operation date (COD) pembangkit dari proyek listrik 35.000 GW yang sedang konstruksi, kira-kira mundur sekitar 6—12 bulan dari jadwal semula.

Pemerintah juga mesti melakukan renegosiasi skema take or pay dan level capacity payment dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) diturunkan ke bawah 80%. Pemerintah juga diharuskan menurunkan capacity factor PLTU-PLTU eksisting di Jawa, Bali, dan Sumatera yang berusia di atas 20 tahun ke bawah level 70%.

Penghentian operasional PLTU-PLTU yang sudah berusia 30 tahun juga menjadi salah satu strategi untuk menghindari kelebihan pasokan listrik di kemudian hari.

Tak hanya itu, pemerintah mesti segera menetapkan batasan emisi gas rumah kaca untuk PLTU. Dalam hal ini, PLTU-PLTU yang tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut dapat diberikan sanksi berupa penurunan capacity factor. Kebijakan ini bisa dilakukan dengan pemberian jeda waktu tiga tahun untuk mandatori.

Selanjutnya: Ini daftar proyek yang dibiayai SBSN hingga Rp 27,58 triliun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

×