Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan profil risiko lembaga jasa keuangan pada Februari 2022 masih terjaga. Regulator mencatatkan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) gross perbankan menurun menjadi sebesar 3,08%.
Walaupun terdapat penyesuaian likuiditas perbankan sebagai dampak kebijakan kenaikan GWM Bank Indonesia, namun likuiditas industri perbankan pada Februari 2022 masih berada pada level yang sangat memadai.
Hal tersebut tercermin dari rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit dan Alat Likuid/DPK masing-masing sebesar 147,33% dan 32,72%.
Baca Juga: Ditopang Sektor Perdagangan, OJK Catat Kredit Perbankan Tumbuh 6,3% di Februari 2022
"Posisi ini berada di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%. Dari sisi permodalan, perbankan mencatatkan permodalan yang relatif stabil pada Februari 2022 tercatat sebesar 25,82% atau jauh di atas threshold," mengutip pernyataan resmi OJK pada Sabtu (2/4).
OJK juga mencatat aktivitas perekonomian global dan domestik masih menunjukan pemulihan sejalan terkendalinya pandemi Covid-9 yang didorong oleh percepatan vaksinasi termasuk booster.
Namun, terjadi sedikit peningkatan di Eropa akibat penyebaran varian Omicron BA.2, meski belum diikuti kenaikan kematian maupun kebijakan restriksi.
Selain itu, tekanan eksternal terkini terhadap perekonomian pada periode pemantauan yaitu adanya perang antara Rusiadan Ukraina yang dimulai pada akhir Februari 2022, yang diikuti oleh sanksi masif oleh negara-negara barat terhadap Rusia.
Hal tersebut kembali meningkatkan risiko penurunan pertumbuhan global yang secara bersamaan diikuti oleh kenaikan inflasi terutama di dorong oleh peningkatan harga energi dan komoditas.
OJK menilai transmisi dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian domestik melalui jalur sektor keuangan, sektor perdagangan, dan harga komoditas relatif masih terkendali.
Baca Juga: Genjot Bisnis, BSI Luncurkan Layanan Sobat Gadai Online via BSI Mobile
Namun demikian, perlu dicermati peningkatan volatilitas pasar keuangan global maupun domestik serta peningkatan harga komoditas khususnya minyak dan komoditas pangan yang dapat meningkatkan tekanan inflasi domestik.