Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tidak serempaknya progres pemulihan ekonomi masing-masing negara, menimbulkan perbedaan arah kebijakan.
Saat ini, beberapa negara khususnya negara maju, sudah mulai melakukan pengurangan penambahan likuiditas (tapering off), termasuk Amerika Serikat (AS).
Di waktu yang sama, saat ini Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan kebijakan moneternya untuk tetap longgar dan bahkan suku bunga acuan masih berada di level terendah sepanjang sejarah yaitu 3,5%.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memandang, ini bisa menjadi batu sandungan bagi pergerakan pasar keuangan Indonesia.
Baca Juga: OECD kembali pangkas proyeksi perekonomian Indonesia pada 2021
“Ketidaksinkronan kebijakan moneter Indonesia dan negara lain membuat risiko arus modal asing yang keluar dari pasar keuangan dalam negeri,” tulis lembaga tersebut dalam OECD Economic Outlook Volume 2021, seperti dikutip Selasa (14/12).
Kemungkinan hengkangnya arus modal asing dari pasar keuangan domestik ini bisa mengakibatkan tekanan pada nilai tukar rupiah dan suku bunga kebijakan.
Namun, OECD masih melihat adanya kekuatan yang menyokong otot rupiah, yaitu peningkatan harga komoditas global yang mampu mendorong prospek ekspor Indonesia.
Lebih lanjut, OECD yakin bank sentral mampu mendukung pemulihan ekonomi. Hal ini seiring dengan kredibilitas BI dalam mengarahkan pergerakan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News