kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.205   64,31   0,90%
  • KOMPAS100 1.106   11,04   1,01%
  • LQ45 878   11,56   1,33%
  • ISSI 221   1,08   0,49%
  • IDX30 449   6,43   1,45%
  • IDXHIDIV20 540   5,72   1,07%
  • IDX80 127   1,45   1,15%
  • IDXV30 135   0,62   0,46%
  • IDXQ30 149   1,69   1,15%

Moratorium Smelter NPI untuk Dorong Hilirisasi Nikel Lebih Lanjut Mendapat Dukungan


Minggu, 11 Juni 2023 / 07:00 WIB
Moratorium Smelter NPI untuk Dorong Hilirisasi Nikel Lebih Lanjut Mendapat Dukungan

Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong pengembangan hilirisasi nikel lebih lanjut dengan mendukung kebijakan moratorium smelter yang memproduksi nikel kelas 2 yakni nickel pig iron (NPI). Pasalnya saat ini produksi NPI di Indonesia sudah luber sedangkan nilai tambah NPI masih belum signifikan. 

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE), Taufik Bawazier menyatakan berdasarkan kacamata perindustrian, hilirisasi nikel harus lebih tinggi nilai tambahnya. 

“Jangan hanya berhenti sampai di NPI saja, dari hulunya harus diarahkan, menurut saya moratorium untuk NPI supaya investasi bergeser ke nikel yang lebih hilir,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Kamis (8/6). 

Baca Juga: Bisnis Truk Tetap Menjanjikan di tengah Harga Komoditas yang Melandai

Dia menyatakan jika investasi hanya dibuka untuk smelter yang produksinya hanya sampai NPI saja, khawatir menjadi ‘predator’ memperebutkan tambang nikel. Jika demikian, persaingan menjadi tidak sehat. 

Taufik menjelaskan lebih lanjut, berdasarkan pohon industri nikel, NPI bisa diolah menjadi produk yang lebih hilir menjadi stainless steel HRC, stainless steel CRC, stainless steel slab, dan stainless steel billet. 

Jika bisa diproses lagi, nikel bisa menghasilkan produk stainless steel rod/bar, stainless steel seamless pipe, hingga stainless steel bolt& nut. Dengan begitu, produk hasil hilir nikel yang biasa diimpor, bisa disubstitusi. 

“Begitu juga yang chemical hidrometalurgi, juga terus didorong hilirisasinya sampai menghasilkan baterai. Sampai di situ kita kuat, dibuka investasi di sini,” terangnya. 

Baca Juga: Pelaku Bisnis Shipping Akan Diuntungkan Pembukaan Keran Ekspor Pasir Laut

Namun Taufik pun juga tidak menampik bahwa semakin hilir produk yang akan diproduksi, semakin rumit teknologinya dan investasinya juga tentu lebih besar. 

Taufik menegaskan, Kemenperin sejatinya sudah menyuarakan hilirisasi nikel lebih lanjut lagi. Menurut dia, perlu nilai tambah lebih besar lagi untuk nikel sebagai mineral strategis. 

“Kami hanya mendorong ini karena ada peluang bisnis yang prospektif. Di produk hilir nikel tertentu masih ada yang kosong dan pasar di dalam negeri cukup bagus. Nah, katup kunci yang ada di hulu jangan dibuka yang ini (NPI) terus, harus ditutup udah kebanyakan (investasinya) di sini,” tegasnya. 

Berdasarkan data yang dihimpun Kemenperin, dari dari 34 smelter nikel pirometalurgi yang beroperasi, hanya ada 4 smelter yang produksinya diproses lebih lanjut menjadi stainless steel di dalam negeri. Kapasitas produksi stainless steel sebesar 31,66 juta ton per tahun. 

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola  Mineral dan Batubara, Irwandy Arif menjelaskan, saat ini produksi NPI mengalami oversupply karena digandrungi para pelaku usaha karena nilai investasi  teknologi pirometalurgi atau Rotary Klin-Electric Furnace (RKEF) relatif lebih murah dibandingkan teknologi HPAL. 

Lubernya produksi NPI di Indonesia memberikan efek domino pada sejumlah hal, salah satunya harga NPI yang akan semakin tertekan. Maka itu Pemerintah akan mengendalikan produksi NPI di Tanah Air. 

Berdasarkan data Kementerian ESDM, ada sebanyak 37 smelter pirometaurgi yang sedang konstruksi dan akan memproduksi 90,88 juta MT dan 27 smelter lainnya sedang rencana dibangun. 

Baca Juga: Kebutuhan Nikel untuk Baterai Kendaraan Listrik Capai 59.000 Ton

Irwandy bilang, kalau produksi NPI dan feronikel terus bertambah, otomatis laju konsumsi nikel saprolit lebih tinggi. 

“Sedangkan jumlah cadangan nikel itu 5,5 miliar ton, bisa bayangkan kalo terus gini cadangan habis kalau eksplorasi dan penemuan baru tidak ada. Jadi cukup kritis,” ujarnya. 

Maka itu diperlukan pembangunan smelter hidrometalurgi yang menghasilkan produk bahan baku baterai listrik. 

Namun, pembangunan smelter hidrometalurgi relatif lebih mahal dibandingkan pirometalurgi. Irwandy bilang, untuk membangun smelter HPAL membutuhkan dana kisaran US$ 1 miliar atau Rp 15 triliun (kurs Rp 15.000 per dolar) bahkan bisa lebih. 

Adapun saat ini masih ada sejumlah kendala dalam pengembangan smelter nikel antara lain masalah pendanaan, pasokan energi, pembebasan lahan, perizinan, dan isu lainnya. 

Irwandy menjelaskan, untuk persialan pendanaan, pemerintah sudah mempertemukan pihak perusahaan dengan perbankan untuk melihat peluang potensi pengembangan smelter nikel. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×