Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Besarnya nilai investasi dalam membangun pembangkit panas bumi menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan PLTP di Indonesia. Menurut penjelasan sejumlah pelaku usaha, rata-rata investasi untuk pembangkit panas bumi di kisaran US$ 5 juta hingga US$ 7 juta per megawatt (MW).
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi menjelaskan secara sederhana komponen dan struktur biaya pembangkit panas bumi dibagi atas biaya hulu (upstream cost) dan biaya hilir (downstream cost).
Untuk biaya hulu untuk infrastruktur, pemboran, dan lainnya sekitar 40% dari total investasi. Adapun di sisi hilir untuk tambahan infrastruktur, pipa, turbin, dan lainnya sekitar 60% dari total investasi.
“Jika dirata-rata, investasi pembangkit listrik tenaga panas bumi sekitar US$ 5 juta per megawatt (MW),” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (15/11).
Baca Juga: Menteri ESDM Dorong Penyediaan Energi Hijau untuk industri
Adapun untuk lahan yang harus dipersiapkan, sekitar 1,2 hektar per MW, sedangkan untuk ekspansi di area yang sama diakui Prijandaru bisa lebih kecil.
Board of Director International Geothermal Association (IGA), Surya Darma menjelaskan lebih rinci. Biaya yang harus disalurkan untuk pembuatan pembangkit panas bumi pada umumnya adalah upfront investment atau investasi awal, sebelum PLTP mulai beroperasi.
“Biaya ini kemudian dikapitalisasi dan dihitung sebagai biaya harga energi, termasuk di dalamnya adalah cost of fund, biaya finansial termasuk bunga bank pemberi kredit pembangunan panas bumi,” jelasnya saat dihubungi terpisah.
Sedangkan setelah beroperasi, lebih banyak beban biaya operasi dan maintenance termasuk biaya penggantian sumur panas bumi yang mengalami penurunan produksi pada kurun waktu tertentu.
Di dalam biaya investasi hulu termasuk di dalamnya adalah biaya eksplorasi saintifik, pemboran eksplorasi, pemboran sumur untuk produksi. Kemudian pemberantasan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas pipa uap dan reijeksi, biaya pengelolaan lingkungan, fasilitas perkantoran dan lain-lain.
Sedangkan untuk hilir pada umumnya adalah biaya pembangunan pembangkitan dan segala kelengkapannya. Semua biaya ini bisa dilakukan dengan menggunakan ekuitas dan bisa juga dengan pinjaman dari bank. Semua biaya investasi ini tentu saja cost of fund nya termasuk kemudahan dan kesulitan memperolehnya. Semuanya dihitung.
Dari sinilah kemudian dihitung menjadi harga energi dengan tingkat pengembalian yang layak sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam perbankan.
“Harga ini kita sebut dengan harga yang memenuhi keekonomian proyek,” terangnya.
Surya memaparkan biaya investasi rata-rata saat ini mulai dari hulu sampai hilir pasti akan bervariasi dari satu tempat dengan tempat lain. Hal ini tergantung tingkat keberhasilan memperoleh cadangan panasbumi yang dapat diproduksikan.
Baca Juga: Pertamina Dorong Peningkatan Kapasitas Panas Bumi, Ini Targetnya
Faktor yang mempengaruhi sebut saja besar kecilnya produksi setiap sumur yang berhasil dibor, tipe fluida yang diproduksikan apakah dominan uap atau dominan air. Bisa juga karena jarak antara sumur dengan lokasi pembangunan PLTP, jumlah sumur yang diperlukan untuk kapasitas PLTP, hingga tingkat keasaman fluida yang diproduksi. Tidak hanya itu, investasi untuk PLTP juga dapat tergantung pda infrastruktur yang tersedia, jarak ke jaringan yang sudah tersedia dari pembeli PLN dan masih banyak lainnya.
“Saat ini variasi investasinya bisa mencapai antara US$ 5 juta hingga US$ 7 juta per MW. Hal ini tentu saja harganya sudah di atas US$ 10 cent per KWh,” kata Surya.
Dari sisi kebutuhan lahan, pembangunan PLTP sebetulnya cukup kecil. Dalam satu lokasi sumur yang luasnya sekitar 1 Ha hingga 1,5 Ha bisa bor beberapa sumur baik secara tegak lurus maupun pemboran berarah, directional drilling. Selain menghemat lahan, juga sekaligus menghemat biaya.
Surya menilai, hal yang diperlukan pada umumnya adalah lahan infrastruktur jalan akses karena di Indonesia belum ada akses jalan masuk sehingga harus membangun sendiri jalan masuk. Padahal jalan itu nantinya akan dipakai juga oleh masyarakat yang seharusnya bisa jadi fasilitas umum.
“Bisa dibangun oleh pemerintah tidak masuk dalam biaya proyek,” kata dia.
Baru setelah itu, biaya investasi panas bumi akan dikembalikan dalam bentuk penjualan kepada pembeli yang dimonopoli oleh PT PLN. Namun, menurut Surya, akibatnya harga pembelian listrik dari produsen panas bumi "disetir" oleh PLN biasanya cenderung tidak memenuhi keekonomian panas bumi.
“Ini berakibat pada pengembalian modal jadi membutuhkan waktu yang sangat lama atau bahkan bisa tidak kembali. Hal inilah yang menjadi tantangan dalam pengembangan panas bumi,” ungkapnya.
Sedangkan jika harga memenuhi nilai keekonomian, maka seharusnya biaya investasi bisa kembali dalam kurun waktu 8 tahun hingga 12 tahun.
Baca Juga: Langkah Inpex Investasi ke Sektor Panas Bumi Mendapat Apresiasi Positif
Surya menyoroti bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha panas bumi, misalnya saja regulasi di Indonesia yang sering berubah. Persoalan ini membuat tidak adanya kepastian hukum dan kepastian berusaha.
Pada dasarnya, Surya mengapresiasi keluarnya Perpres 112 Tahun 2022 yang memuat tentang tarif listrik energi terbarukan. Ditambah lagi, saat ini Indonesia juga sedang menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang diharapkan dapat menunjang pengembangan energi bersih di Indonesia.
Dia bilang, dengan masuknya skema power wheeling bisa menjadi jalan masuk (entry point) pengembangan energi terbarukan. Di sisi lain, pihaknya juga berharap bahwa penyedia jasa pendanaan juga mendukung upaya transisi energi yang memerlukan biaya yang besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News