Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) menilai, bisnis telur ayam masih terbilang prospektif, meski sektor tersebut tetap memiliki tantangan yang patut diwaspadai.
Ketua Umum Pinsar Singgih Januratmoko menyampaikan, sebenarnya tidak banyak perusahaan dengan modal besar yang berkecimpung di bisnis telur ayam saat ini lantaran terdapat regulasi yang mengatur persaingan di bisnis tersebut.
Ia menyebut, ada beberapa perusahaan poultry yang memiliki pangsa pasar besar secara nasional di segmen bisnis telur ayam. Misalnya, PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) dan QL Group yang berbasis di Malaysia.
Sebagai informasi, CPIN memiliki bisnis peternakan petelur Day Old Chicks (DOC) atau anak ayam usia sehari. CPIN menjual petelur DOC kepada peternak untuk dibiakkan ayam petelur. Ayam tersebut memproduksi telur pada umur 18 minggu sampai umur 80 minggu. Secara rata-rata ayam petelur memproduksi 1 telur tiap 24—28 jam pada masa bertelur.
Baca Juga: Harga Tiga Komoditas Pangan Naik di Akhir 2021, Ikappi: Harus Ada Grand Design Pangan
CPIN memiliki fasilitas pembibitan yang tersebar di seluruh Indonesia. Mulai dari Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Sementara itu, QL Group merupakan perusahaan asal Malaysia yang memiliki bisnis yang cukup beragam. Di antaranya, bisnis manufaktur produk hasil laut, consumer good, peternakan terintegrasi, ritel, hingga kelapa sawit.
Terkait bisnis telur ayam, QL Group memiliki jaringan fasilitas peternakan di Bandung, Jawa Barat. Perusahaan ini juga memiliki bisnis serupa di Peninsular, Malaysia, dan Ho Chi Minh, Vietnam.
Singgih mengatakan, perusahaan-perusahaan besar tersebut memiliki budidaya peternakan ayam petelurnya secara mandiri. Di sisi lain, ada juga perusahaan besar yang tetap menyerap telur dari peternak rakyat. “Di luar itu, sebagian besar pelaku bisnis telur ayam merupakan peternak UMKM,” imbuh dia, Senin (27/12).
Prospek bisnis telur ayam pun masih cukup menjanjikan. Terlebih lagi, telur ayam memiliki kandungan gizi yang tinggi dan menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Selama daya beli masyarakat terjaga, bisnis telur ayam masih bisa terus bertahan.
Baca Juga: Pedagang Harap Minyak Goreng Bersubsidi Dijual di Pasar Tradisional
Adapun tantangan besar bagi para peternak ayam petelur adalah harga pakan ternak yang menjulang tinggi seiring kenaikan harga jagung. Hal ini bisa mempengaruhi produktivitas para peternak ayam petelur di kemudian hari.
Para peternak ayam petelur, khususnya di level UMKM, juga perlu memaksimalkan penjualan secara langsung (direct) dan tidak bergantung pada broker atau perantara telur ayam. “Para produsen telur ayam juga perlu melakukan diversifikasi dengan membuat produk turunan dari bahan baku telur,” tambah Singgih.
Lebih lanjut, para penghasil telur ayam sebenarnya sudah mulai mengoptimalkan platform digital untuk penjualannya, meski masih dalam jumlah yang terbatas. Maklum, telur bersifat mudah pecah dan proses pengangkutannya tidak semudah produk benda mati. Terlepas dari itu, pemanfaatan platform digital dapat memperpendek jalur distribusi telur ayam dari peternak hingga konsumen akhir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News