Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menganggap Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat sensasi yg berlebihan.
Seperti kita tahu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersalah lantaran tidak meloloskan Partai Prima sebagai salah satu kontestan Pemilu 2024.
Selain itu PN Jakarta Pusat menitahkan agar tahapan pemilu diulangi dari awal, sehingga berpotensi menyebabkan pemilihan umum yang akan berlangsung 14 Februari 2025 akan tertunda hingga Juli 2025.
"Masak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN," kata Mahfud MD seperti diunggah dalam akun instagram-nya Kamis (2/3) malam.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini, untuk menilai vonis hakim itu salah cukup menggunakan logika sederhana dan pertimbangan hakim mudah dipatahkan.
Tapi vonis majelis hakim ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi persiapan Pemilu 2024. "Bisa saja nanti ada yang mempolitisisasi seakan-akan putusan itu benar," ungkap Mahfud MD.
Karena itu Mahfud mengajak agar KPU naik banding atas putusan tersebut dan melawan habis-habisan secara hukum.
"Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena Pengadilan Negeri tidak punya kewenangan untuk membuat vonis tersebut," katanya
Mahfud pun memperinci alasan hukum atas pernyataannya tersebut.
Pertama, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri.
Misalnya penyelesaian sengketa sebelum pencoblosan, jika terkait proses administrasi yang memutus harus Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu. Tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pada kasus ini, Partai Prima sudah kalah saat bersengketa di Bawaslu dan juga sudah kalah di PTUN. "Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara," katanya.
Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka mahkamah yang memiliki kompetensi untuk memutuskan adalah Mahkamah Konstitusi (MK). "Itu pakemnya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum," terang Mahfud.
Selain itu Mahfud menegaskan, bahwa perbuatan melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan sebagai objek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu.
Pertimbangan kedua, hukuman PN Jakarta Pusat untuk melakukan penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh pengadilan negeri sebagai kasus perdata.
"Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh Pengadilan Negeri. Menurut Undang-Undang penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah dengan berbagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia," katanya.
Misalnya, di daerah yg sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. "Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu," katanya.
Pertimbangan ketiga menurut Mahfud, vonis Majelis Hakim PN Jakarta Pusat tersebut tak bisa dimintakan eksekusi.
"Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU.
Pertimbangan keempat penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata oleh sebuah partai politik bukan hanya bertententang dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi.
Sebab kita semua tahu konstitusi yang telah menetapkan agar pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali. Kita harus melawan scr hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul.
Seperti kita tahu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengeluarkan putusan mengagetkan pada Kamis (2/3)
Putusan ini dikhawatirkan mengganggu proses pelaksanaan pemilihan umum yang rencananya akan di gelar pada 14 Februari 2024.
Menurut jadwal pemilihan presiden dan wakil presiden akan berlangsung, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini berpengaruh langsung terhadap proses tahapan pelaksanaan pemilu yang sudah digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia.
Putusan PN Jakarta Pusat mengenai pemilu ini diambil majelis hakim pada hari Rabu, tanggal 1 Maret 2023, yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim T. Oyong, dan Hakim Anggota Bakri, dan Dominggus Silaban.
"Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada hari Rabu, tanggal 1 Maret 2023," seperti dikutip dari salinan putusan majelis hakim yang diterima KONTAN, Kamis 2 Maret 2022. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka yang berlangsung pada Kamis 2 Maret 2023.
Setidaknya ada delapan poin yang ada di amar putusan majelis hakim;
Dalam eksepsi, Majelis Hakim menolak eksepsi tergugat yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang menyatakan bahwa gugatan penggugat dianggap kabur atau tidak jelas (Obscuur Libel)
Seperti kita tahu gugatan pada perkara ini diajukan oleh Agus Priyono Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dan Dominggus Oktavianus Tobu Kiik : Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Prima.
Dalam Pokok Perkara Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memutuskan
1. Menerima seluruh gugatan penggugat
2. Majelis Hakim menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi
administrasi oleh KPU RI;
3. Menyatakan KPU RI telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
4. Menghukum KPU RI untuk membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500 Juta kepada dua orang penggugat yang juga pengurus Partai Prima;
5. Menghukum KPU RI untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan (yaitu 2 Maret 2023) dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari; (9 Juli 2025).
6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);
7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp 410.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News